Cari Blog Ini

Lencana Facebook

Rabu, Maret 21, 2012

RUBRIK TELADAN


Zainab binti Rasulullah SAW
Rubrik : Teladan

Zainab adalah putri tertua Rasulullah SAW. Rasulullah telah menikahkannya dengan sepupu beliau, yaitu Abul 'Ash bin Rabi' sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, atau ketika Islam belum tersebar di tengah-tengah mereka. lbu Abul 'Ash adalah Halah binti Khuwaylid, bibi Zainab dari pihak ibu. Dari pernikahannya dengan Abul 'Ash mereka mempunyai dua orang anak, Ali dan Umamah. Ali meninggal ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib ra. setelah wafatnya Fatimah ra.

Setelah berumah tangga, Zainab tinggal bersama Abul 'Ash bin Rabi' suaminya. Hingga pada suatu ketika, pada saat suaminya pergi bekerja, Zainab mengunjungi ibunya. Dan ia dapatkan keluarganya telah mendapatkan suatu karunia dengan diangkatnya, ayahnya, Muhammad SAW menjadi Nabi akhir jaman. Zainab mendengarkan keterangan tentang Islam dari ibunya, Khadijah ra. Keterangan ini membuat hatinya lembut dan menerima hidayah Islam. Dan keislamannya ini ia pegang dengan teguh, walaupun ia belum menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul 'Ash.

Sedangkan Abul 'Ash bin Rabi' adalah termasuk orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai pedagang. Ia sering meninggalkan Zainab untuk keperluan dagangnya. la sudah mendengar tentang pengakuan Muhammad sebagai Nabi SAW. Namun, ia tidak mengetahui bahwa istrinya, Zainab sudah memeluk Islam. Pada tahun ke-6 setelah hijrah Nabi SAW ke Madinah.

Abul 'Ash bin Rabi' pergi ke Syria beserta kafilah-kafilah Quraisy untuk berdagang. Ketika Rasulullah SAW mendengar bahwa ada kafilah Quraisy yang sedang kembali dari Syria, beliau mengirim Zaid bin Haritsah ra. bersama 313 pasukan muslimin untuk menyerang kafilah Quraisy ini. Mereka menghadang kafilah ini di Badar pada bulan Jumadil Awal. Mereka menangkap kafilah itu dan barang-barang yang dibawanya serta menahan beberapa orang dari kafilah itu, termasuk Abul 'Ash bin Rabi'. Ketika penduduk Mekkah datang untuk menebus para tawanan, maka saudara laki-laki Abul 'Ash, yaitu Amar bin Rabi', telah datang untuk menebus dirinya. Ketika itu, Zainab istri Abul 'Ash masih tinggal di Mekkah. la pun telah mendengar berita serangan kaum Muslimin atas kafilah-kafilah Quraisy termasuk berita tertawannya Abul 'Ash.

Berita ini sangat meiiyedihkannya. Lalu ia mengirimkan kalungnya yang terbuat dari batu onyx Zafar hadiah dari ibunya, Khadijah binti Khuwaylid ra.. Zafar adalah sebuah gunung di Yaman. Khadijah binti Khuwaylid telah memberikan kalung itu kepada Zainab ketika ia akan menikah dengan Abul 'Ash bin Rabi'. Dan kali ini, Zainab mengirimkan kalung itu sebagai tebusan atas suaminya, Abul 'Ash. Kalung itu sampai di tangan Rasulullah SAW. Ketika Beliau melihat kalung itu, beliau segera mengenalinya. Dan kalung itu mengingatkan beliau kepada istrinya yang sangat ia sayangi, Khadijah.

Beliau berkata, 'Seorang Mukmin adalah penolong bagi orang Mukmin lainnya. Setidaknya mereka memberikan perlindungan. Kita lindungi orang yang dilindungi oleh Zainab. Jika kalian bisa mencari jalan untuk membebaskan Abul 'Ash kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu kepadanya, maka lakukaniah.' Mereka menjawab, "Baik, ya Rasulullah SAW." Maka mereka segera membebaskan Abul 'Ash dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab.

Kemudian Rasulullah SAW menyuruh Abul 'Ash agar berjanji untuk membiarkan Zainab bergabung bersama Rasulullah SAW. Dia pun berjanji dan memenuhi janjinya itu. Ketika Rasulullah SAW pulang ke rumahnya, Zainab datang menemuinya dan meminta untuk mengembalikan kepada Abul 'Ash apa yang pernah diambil darinya. Beliau mengabulkannya. Pada kesempatan itu, Beliau pun telah melarang Zainab agar tidak mendatangi Abul 'Ash, karena dia tidak halal bagi Zainab selama dia masih kafir. lalu Abul 'Ash kembali ke Mekkah dan menyelesaikan semua kewajibannya. Kemudian dia masuk Islam dan kembali kepada Rasulullah SAW sebagai seorang Muslim. Dia berhijrah pada bulan Muharram, 7 Hijriyah. Maka Rasulullah SAW pun mengembalikan Zainab kepadanya, berdasarkan pernikahannya yang pertama.

Zainab wafat pada tahun 8 Hijriyah. Orang-orang yang memandikan jenazahnya ketika itu, antara lain ialah; Ummu Aiman, Saudah binti Zam'ah, Ummu Athiyah dan Ummu Salamah ra.. Rasulullah SAW. berpesan kepada mereka yang akan memandikan jenazahnya ketika itu, 'Basuhiah dia dalam jumlah yang ganjil, 3 atau 5 kali atau iebih jika kalian merasa lebih baik begitu. Mulailah dari sisi kanan dan anggota-anggota wudhu. Mandikan dia dengan air dan bunga. Bubuhi sedikit kapur barus pada air siraman yang terakhir. Jika kalian sudah selesai beritahukaniah kepadaku.' Ketika itu, rambut jenazah dikepang menjadi tiga kepangan, di samping dan di depan lalu di kebelakangkan. Setelah selesai dari memandikan jenazah, Ummu Athiyah memberitahukan kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW memberikan selimutnya dan berkata, 'Kafanilah dia dengan kain ini.' (Hayatush Shahabah) 
__________________________________________________________________________________________

Zainab binti Jahsy
Rubrik : Teladan

Zainab binti Jahsy adalah putri dari bibi Rasulullah yang bernama Umaymah binti Abdul Muthalib bin Hasyim. Zainab adalah seorang wanita yang cantik jelita dari kaum bangsawan yang terhormat. Dipandang dari ayahnya, Zainab adalah keturunan suku Faras yang berdarah bangsawan tinggi.

Ia dinikahkan Rasulullah dengan anak angkat kesayangannya Zaid bin Haritsah. Tetapi pernikahan itu tidak berlangsung lama, mereka akhirnya bercerai. Kemudian Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menikahi Zainab. "Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istriny (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk(mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adapun ketetapan Allah itu pasti terjadi." (QS Al-Ahzab [33] : 37).

Bukhori meriwayatkan dari Anas, Zainab sering berkata, "Aku berbeda dari istri-istri Rasulullah SAW yang lainnya. Mereka dikawinkan oleh ayahnya, atau saudaranya, atau keluarganya, tetapi aku dikawinkan Allah dari langit."

Zainab adalah seorang wanita berhati lembut dan penuh kasih sayang, suka menolong fakir miskin dan kaum lemah. Dia senang sekali memberi sedekah, terutama kepada anak yatim.

Rasulullah pernah bersabda kepada istrinya, "Yang paling dahulu menyusulku kelak adalah yang paling murah tangannya." Maka berlomba-lombalah istri beliau memberikan sedekah kepada fakir miskin. Namun tak ada yang bisa mengalahkan Zainab dalam memberikan sedekah. Dari Aisyah ra berkata, "Zainab binti Jahsy adalah seorang dari istri-istri Nabi yang aku muliakan. Allah SWT menjaganya dengan ketaqwaan dan saya belum pernah melihat wanita yang lebih baik dan lebih banyak sedekahnya dan selalu menyambung silaturahmi serta selalu mendekatkan dirinya kepada Allah selain Zainab."

Mengapa? Apakah karena Rasulullah memberikan belanja yang berlebih terhadap Zainab? Tidak, Rasulullah SAW tidak pernah berbuat seperti itu. Lalu dari manakah Zainab mendapatkan uang untuk sedekah? Ia memiliki berbagai macam keahlian. Ia bisa menyamak kulit, memintal serta menenun kain sutra, hasilnya dijual dan disedekahkan. Hal itulah yang menyebabkan wanita cantik istri Rasulullah ini bersedekah lebih banyak dari yang lainnya.

Setelah Rasulullah wafat, Zainab memperbanyak usahanya, agar bisa melipat gandakan uang yang diterimanya. Ketika ia mendapat bagian harta dari Baitul Mal dimasa kholifah Umar ra, dia berdoa, "Ya Allah janganlah harta ini penyebab fitnah."
Segera ia bagikan harta itu kepada yatim piatu dan fakir miskin. Mendengar itu Umar ra mengirim lagi, tetapi Zainab membagi-bagikannya lagi kepada yatim piatu dan fakir miskin. Wanita pemurah itu wafat pada tahun 44 H pada masa Kholifah Muawiyah. Wallahu 'alam. (Disarikan dari Shifatush Shofwah, Ibnu Jauzi dan Qishhshu An-Nisa Fi Al Qur'an Al-Karim, Jabir Asyyaal)

___________________________________________________________________________________________
Zaid bin Haritsah
Rubrik : Teladan

Su'da binti Tsalabah bepergian mengunjungi familinya, Bani Ma'an. Dia membawa anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah Al Ka'by. Belum berapa lama di tinggal di sana, segeromboilan orang berkuda Bani Qain, datang menyerang desa itu, lalu merampok harta benda penduduk, unta dan menculik anak-anak. Diantara anak-anak yang diculik mereka termasuklah Zaid bin Haritsah, anak Su'da.

Umur Zaid ketika itu baru menginjak delapan tahun. Para penculik membawanya ke pasar 'Ukazh’ dan menawarkannya kepada pembeli. Zaid dibeli seorang bangsawan Quraisy yang kaya raya, Hakam bin Hazam bin Khuwalid, seharga empat ratus dirham. Bersamaan dengan Zaid, Hakam membeli pula beberapa orang anak yang lain, kemudian dibawanya pulang ke Makkah.

Ketika Khadijah binti Khuwalid, bibi dari Hakam bin Khuwalid, mengetahui bahwa Hakam telah kembali dari pasar “Ukazh, dia datang mengunjungi Hakam untuk mengucapkan selamat datang.

Kata hakam, “Wahai Bibi! Pilihlah diantara budak-budak itu mana yang Bibi sukai, sebagai hadiah untuk Bibi. Khadijah memeriksa budak-budak itu satu persatu; maka pilihannya jatuh pada Zaid bin Haritsah, karena dilihatnya anak ini pintar dan cerdik. Kemudian Zaid dibawa pulang.

Tidak lama kemudian, Khadijah menikah dengan Muhammad bin 'Abdullah (ketika itu beliau belum menjadi Nabi). Khadijah ingin menyenangkan hati suami tercinta, dengan memberikan sesuatu sebagai kenang-kenangan. Setelah ditimbang-timbang, dia tidak melihat hadiah yang lebih baik bagi suaminya, melainkan budak yang berbudi halus, Zaid bin Haritsah. Lalu Zaid dihadiahkannya kepada suaminya.

Budak yang bernasib mujur itu kini berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan Muhammad bin 'Abdullah. Anak itu sangat beruntung, karena dia dipergauli tuannya dengan cara yang mulia dan dia merasa bahagia berada di samping tuannya.

Tetapi nun jauh di sana, ibu Zaid menderita kehilangan anak satu-satunya. Air matanya telah kering, tak mau lagi mengalir karena terus terusan menangis dirundung duka nestapa. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Lebih-lebih lagi karena anak yang dicintainya tidak diketahui, apakah masih hidup dengan harapan akan dapat berjumpa kembali, ataukah dia sudah tiada, menyebabkan si ibu kian berputus asa. Ayahnya telah berusaha mencari ke seluruh pelosok dan bertanya-tanya kepada setiap kafilah yang ditemuinya. Sehingga dalam pencarian yang melelahkan itu, dari lubuk hatinya yang duka tercetus dengan seuntai syair yang meremukkan setiap hati pendengarnya, ditujukan kepada puteranya yang hilang :

“Kutangisi engkau, hai Zaid,
Ku tak tahu yang terjadi,
Apakah hidup dengan harapan bertemu kembali,
Ataukah telah tiada……….

Demi Allah aku tak tahu,
Dan aku kan bertanya selalu
Mungkin di lembah sana dia celaka.
Atau di bukit situ dia binasa,
Mentari terbit mengingatkanku kepadanya.

Rindu kian menggoda bila senja tiba,
Akan kucari di bumi mana,
Tiada kujemu berkelana,
Walau unta telah merana.

Kalau tak tercapai cita-cita
Biarlah mati bersama rindu menggelora.

Pada suatu musim haji (masa jahily), beberapa famili Zaid pergi naik haji. Ketika mereka sedang thawaf, mereka bertemu berhadapan muka dengan Zaid. Mereka mengenali Zaid dan Zaid mengenali mereka, lalu saling bertanya dan bercerita. Setelah selesai haji, mereka pulang ke kampung dan mengabarkan kepada Haritsah apa yang mereka lihat dan mereka dengar dari Zaid.

Haritsah segera menyiapkan kendaraan dan uang secukupnya untuk menebus jantung hati, penyejuk mata, anak satu-satunya. Dia pergi ke Makkah ditemani saudaranya Ka'ab. Mereka berpacu secepatnya agar segera sampai di Makkah dan bertemu dengan jantung hatinya. Tiba di Makkah mereka langsung menuju rumah Muhammad bin 'Abdullah.

Kata mereka, “Wahai putera 'Abdullah! Anda tetangga rumah Allah. Anda senantiasa membantu orang yang kesulitan; memberi makan orang yang lapar; dan memberi minum orang yang kehausan. Kami datang kepada Anda hendak menjemput anak kami yang tinggal bersama Anda. Kami membawa uang secukupnya untuk tebusan. Serahkanlah anak kami, akan kami tebus berapa pun yang Anda kehendaki.”

Tanya Muhammad, “Siapa anak yang tuan-tuan maksudkan?”

Jawab mereka, “Pelayan Anda, Zaid bin Haritsah.”

Tanya Muhammad, “Tidak adakah pilihan lain yang lebih baik bagi tuan-tuan selain menebus?”

Mereka balik bertanya, “Pilihan apa?”

Kata Muhammad, 'Saya akan memanggil anak itu kemari. Suruh dia memilih sendiri antara saya dan tuan-tuan. Jika dia memilih tuan-tuan, bawalah tanpa uang tebusan. Dan jika dia memilih saya, demi Allah! Saya bukan tak ingin dipilihnya.”

Jawab mereka, “Itulah yang seadil-adilnya.”

Muhammad memanggil Zaid, lalu bertanya kepadanya, “Kenalkah engkau, siapakah kedua tuan-tuan ini?”

Kata Zaid, “Ini bapakku Haritsah bin Syurahil, dan ini pamanku Ka'ab.

Kata Muahammad. “Sekarang pilih olehmu hai Zaid! Mana yang lebih engkau sukai, pergi bersama bapak dan pamanmu, atau tetap tinggal bersama saya?”

Zaid menjawab cepat tanpa ragu-ragu, “Aku memilih tetap tinggal bersama Anda.”

Kata bapak Zaid, “Celaka! Mengapa engkau lebih suka dan memilih perbudakan daripada memilih bapak dan ibu kandungmu!”

Kata Zaid, “Karena aku tahu, Tuan ini lain daripada yang lain. Aku tidak mau berpisah dengannya selama-lamanya.”

Muhammad mengerti benar apa yang diucapkan Zaid itu. Maka setelah dia berucap begitu, diambilnya tangan Zaid lalu dibawanya ke luar, ke Baitul Haram. Muhammad berdiri di atas hijir di hadapan masyarakat Quraisy sambil memegang tangan Zaid.

Katanya kepada orang banyak, “Hai kaum Quraisy! Saksikanlah! Ini adalah anakku yang akan mewarisi pusakaku!”

Setelah mendengar pengumuman Muhammad tersebut, tenanglah hati bapak dan paman Zaid. Lalu mereka tinggalkan Zaid dengan Muhammad bin 'Abdullah (tidak sebagai budak seperti diperkirakannya, tetapi sebagai anak yang mewarisinya). Mereka pulang ke desanya dengan hati dan pikiran yang tenteram.

Sejak hari itu Zaid bin Haritsah dipanggil Zaid bin Muhammad. Nama tersebut terus dipakai sampai Muhammad diutus Allah menjadi Nabi dan Rasul, ketika turun ayat yang membatalkan hukum adat mengangkat anak (adopsi) seperti yang diadatkan orang 'Arab. Allah berfirman : “Panggillah mereka dengan nama bapak mereka sendiri….! (QS. Al-Ahzab : 5 ).

Demikianlah, hanya kurang lebih tujuh tahun sesudah peristiwa Zaid menjatuhkan pilihannya, maka Allah mengutus Rasul-Nya dengan agama yang haq, Zaid bin Haritsah adalah orang yang pertama-tama menyatakan iman kepada beliau dari kalangan laki-laki. Apakah lagi yang lebih membanggakan daripada ini, dimana orang berlomba-lomba mendapatkannya?

Zaid bin Haritsah menjadi orang terpercaya memegang rahasia Rasulullah. Dia senantiasa diangkat beliau menjadi pemimpin (ketua) delegasi atau pasukan yang dikirim Rasulullah. Dia ditunjuk beliau, apabila beliau bepergian ke luar kota, untuk berperang dan sebagainya.

Kalau Zaid mencintai Rasulullah melebihi cintanya kepada ibu-bapaknya, maka Rasulullah sangat mencintainya pula. Dia tinggal di rumah tangga Rasulullah, berbaur dengan keluarga dan anak-anak beliau. Apabila Zaid tiada, beliau rindu kepadanya. Dan apabila Zaid tiba, beliau tampak gembira dengan kedatangannya. Rasulullah mendidik dan mengajarinya dengan pendidikan dan pengajaran yang tidak seorang pun beruntung memperolehnya seperti Zaid.

Memang, kasih sayang Rasulullah kepada Zaid terkenal dan sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan kaum Muslimin. Sehingga karenanya kaum muslimin menggelari Zaid dengan “Zaid Ibnu Al Hib” (Zaid anak kesayangan Rasulullah). Dan kemudian anak Zaid yang bernama Usamah, digelari mereka pula dengan “Hib Ibnu Hib” (anak kesayangan dari anak kesayangan Rasulullah). Gelar-gelar itu masyhur dalam masyarakat kaum muslimin.

Tahun kedelapan hijriyah, Allah Yang Maha Tinggi Kebijaksanaan-Nya berkehendak untuk menguji hamba-Nya dengan memisahkan orang yang sayang menyayangi itu.

Rasulullah mengutus Harist bin 'Umair Al Azdy dengan sepucuk surat dari beliau kepada raja Bushra, mengajaknya masuk Islam. Sampai di Mu'tah, sebelah Timur Yordan, seorang pembesar Bani Ghassan, yaitu Syurahbil bin 'Amr menangkap Harits, lalu Harits dibunuhnya. Rasulullah sangat marah, karena sesungguhnya seorang utusan tidak boleh dibunuh.

Maka beliau siapkan tiga ribu tentara untuk memerangi Mu'tah. Beliau mengangkat anak kesayangannya Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan tersebut. Kata Beliau, “Jika Zaid gugur, maka pimpinan harus digantikan oleh Ja'far bin Abi Thalib. Jika Ja'far gugur pula, pimpinan harus diambil alih oleh 'Abdullah bin Rawahah. Jika 'Abdullah gugur pula, maka pimpinan dipilih oleh kaum muslimin seorang diantara mereka.”

Pasukan berangkat hingga sampai Ma’an, sebelah timur kota Yordan. Sampai disana ternyata telah menunggu pasukan gabungan Heraklius dari Romawi dan tentara kaum musyrikin Arab. Jumlah pasukan gabungan ini mencapai 200.000 orang.

Kedua pasukan bertemu di Mu’tah. Kaum muslimin berperang mencengangkan tentara Romawi dan menyebabkan mereka ketakutan. Tiga ribu tentara islam menghadapi 200.000 pasukan gabungan.

Zaid bin Haritsah bertempur mempertahankan bendera Rasulullah dengan semangat dan keberanian yang tak ada taranya dalam sejarah kepahlawanan. Sehingga akhirnya tubuhnya remuk terkena seratus anak panah, kemudian dia jatuh terbanting bermadikan darah. Dia syahid menemui Allah sambil mengibarkan bendera Rasulullah, demikian juga dengan Ja'far dan Abdullah.

Berita perang dan tewasnya tiga perwira yang diangkat Rasulullah segera sampai kepada beliau. Beliau sangat sedih menerima berita tersebut. Rasulullah mengunjungi keluarga mereka untuk menghibur. Ketika Rasulullah tiba di rumah Zaid bin Haritsah, anak Zaid yang masih kecil menggapai beliau sambil menangis. Melihat kenyataan seperti itu Rasulullah terharu lalu beliau menangis pula sehingga tangisnya deras kedengaran.

Kata Sa'ad bin 'Ubadah, “Mengapa Anda jadi begini, wahai Rasulullah?”

Jawab beliau, “Ini tangisan bapak menangisi anak yang dikasihinya.”


__________________________________________________________________________________________
Zaid al-Khair
Rubrik : Teladan

Diceritakan dalam buku-buku sastra. Imam Syaibani menceritakan dari seorang tua Bani 'Amir, katanya : "Pada suatu ketika kami dapat musibah mengalami kemarau sehingga tanaman dan ternak kami binasa. Seorang laki-laki diantara kami pergi dengan keluarga ke Hirah lalu ditinggalkannya keluarganya disana. Katanya, 'Tunggu aku di sini sampai aku kembali!'"

Kemudian dia bersumpah tidak akan kembali kepada mereka, kecuali setelah berhasil memperoleh harta untuk mereka, atau dia mati. Maka disiapkannya perbekalan, lalu dia berjalan sepanjang hari. Ketika hari sudah malam dia sampai ke sebuah kemah, di dekat kemah itu terdapat seekor anak kuda. Katanya, "Inilah rampasanku yang pertama." Lalu dihampirinya anak kuda itu dan dilepaskan ikatannya. Ketika dia hendak mengendarainya, tiba-tiba terdengar olehnya suatu suara memanggil. "Lepaskan anak kuda itu, dan pergilah kamu!" Maka ditinggalkannya kuda itu kemudian dia terus pergi meninggalkan tempat itu.

Tujuh hari tujuh malam lamanya berjalan. Akhirnya dia sampai ke sebuah tempat peristirahatan unta. Tidak jauh dari situ terdapat sebuah kemah besar bertenda kulit. Menunjukkan kekayaan dan kemewahan pemiliknya.

Laki-laki musafir itu berkata kepada dirinya sendiri, "Di sini tentu ada unta, dan di dalam sebuah kemah itu tentu ada penghuninya."

Ketika hari hampir maghrib. Dia masuk ke dalam kemah, dan didapatinya seorang tua yang sudah udzur (jompo). Lalu dia duduk di belakang orang tua itu dengan sembunyi-sembunyi.

Tidak berapa lama kemudian, hari pun mulai gelap. Seorang penunggang kuda (Al-Faris) bertubuh tinggi besar datang ke kemah. Dua orang hamba sahayanya mengikuti dari kiri dan kanan dengan berjalan kaki. Mereka menggiring kira-kira seratus ekor unta yang didahului oleh seekor unta jantan yang besar. Bila unta jantan berlutut di tempat peristirahatan, berlutut pula seluruh unta betina.

Sambil menunjuk seekor unta betina yang gemuk, Al-Faris berkata kepada sahayanya, "Perah susu unta ini, kemudian suguhkan kepada Syekh (orang tua)!"

Sahaya itu segera memerah susu unta tersebut semangkuk penuh, lalu di hidangkannya kepada Syekh. Sesudah itu dia pergi. Orang tua itu meneguk susu tersebut seteguk dua teguk, sesudah itu diletakkannya kembali. Kata si Musafir, "Saya merangkak perlahan-lahan mendekati Syekh. Saya ambil bejana di hadapannya, lalu saya habiskan semua isinya." Kemudian sahaya datang mengambil mangkuk susu. Dia berkata kepada majikannya, "Syekh telah menghabiskan minumannya."

Al-Faris (si penunggang kuda) gembira seraya berkata kepada sahayanya, "Perah lagi susu unta ini!", sambil menunjuk seekor unta yang lain. Sahaya itu segera melakukan perintah majikannya dan menghidangkan lagi semangkuk susu kepada Syekh. Syekh meminum susu seteguk lalu diletakkannya. Kemudian mangkuk susu itu diambil oleh si musafir dan diminumnya separuh, Katanya, "Saya enggan menghabiskannya, karena saya khawatir si penunggang kuda menaruh curiga."

Kemudian Al-Faris memerintahkan sahaya yang lain menyembelih domba. Al-Faris memasak domba itu, kemudian memberi makan Syekh dengan tangannya sendiri sampai dia kenyang. Sesudah Syekh kenyang, barulah Al-Faris makan bersama-sama dengan kedua sahayanya. Tidak lama kemudian, mereka semua pergi tidur.

Sedang mereka tidur nyenyak, aku pergi ke tempat unta jantan. Lalu kulepas ikatannya, aku kendarai lalu pergi. Unta-unta lainnya mengikuti unta jantan pergi dan aku terus pergi tengah malam itu. Setelah hari mulai siang, aku melihat sekeliling. Ternyata tidak ada tampak orang menyusulku. Aku terus berjalan sampai tengah hari. Pada suatu ketika aku menoleh ke belakang. Tiba-tiba terlihat olehku di kejauhan suatu bayangan bergerak cepat menuju ke arahku, bagaikan seekor burung yang amat besar. Semakin lama, bayangan itu tambah dekat kepadaku dan tambah nyata. Akhirnya jelas bagiku, bayangan itu tak lain adalah Al-Faris (si penunggang kuda) mencari untanya yang kubawa pergi. Aku segera turun menambatkan unta jantan. Kemudian kukeluarkan anak panah dari tabung dan kupasang pada busur. Aku berdiri dengan posisi membelakangi unta-unta. Agak jauh di hadapanku berdiri Al-Faris. Dia berkata kepadaku, "Lepaskan unta jantan!" Jawabku, "Tidak! Keluargaku kutinggalkan di Hirah sedang kelaparan. Aku telah bersumpah tidak akan kembali kepada mereka sebelum berhasil membawakan mereka makanan atau aku mati karenanya."

Kata Al Faris, "Jika tidak kamu lepaskan, kubunuh kamu. Lepaskan! Terkutuklah kamu!"

Jawabku, "Tidak! Tidak akan kulepaskan walau apa yang akan terjadi!."

Kata Al Faris, "Celakalah kamu! Kamu Pencuri!"

Katanya pula melanjutkan, "Rentangkan tali buhul yang ditengah. Dia membidik, lalu melepaskan anak panahnya tepat mengenai sasaran bagai ditancapkan dengan tangan layaknya. Kemudian dipanahnya pula buhul kedua dan ketiga tanpa meleset sedikit juapun. Melihat kenyatan itu, anak panahku kumasukkan kembali ke dalam tabung. Aku berdiri dan menyerah. Dia datang menghampiriku, lalu diambilnya pedang dan anak panahku. Katanya memerintahku "Bonceng di belakangku!"

Aku naik membonceng di belakangnya. Dia bertanya, "Menurutmu hukuman apa yang akan kujatuhkan terhadap dirimu?"

Jawabku, "Tentu hukuman berat!"

Dia bertanya pula, "Mengapa!"

Jawabku, "Karena perbuatanku yang tidak terpuji dan menyusahkan engkau. Tuhan memenangkan engkau dan mengalahkanku!"

Katanya, "Mengapa kamu menyangka begitu? Bukankah kamu telah menemui 'Muhailil' (bapakku) makan, minum dan tidur semalam dengannya?"

Mendengar dia berkata 'Muhailil', aku bertanya kepadanya, "Apakah engkau ini Zaid al-Khail?"

Jawabnya, "Ya!"

Kataku, "Engkau penawan yang baik."

Jawabnya, "Jangan kuatir!"

Dia membawaku kembali ke perkemahanya. Katanya, "Demi Tuhan! Seandainya unta-unta ini milikku sendiri, sungguh kuberikan semuanya kepadamu. Tetapi sayang, unta ini milik saudara perempuanku. Tinggallah disini barang dua tiga hari. Tidak lama lagi akan terjadi peperangan, dimana aku akan menang dan memperoleh rampasan." Hari ketiga dia menyerang bani Numair. Dia menang dan memperoleh rampasan hampir seratus ekor unta. Unta rampasan itu diberikannya semua kepadaku. Kemudian ditugaskannya dua orang pengawal untuk mengawal unta-unta itu selama dalam perjalanan sampai ke Hirah. Itulah karakter Zaid al-Khail pada masa Jahiliyah. Adapun bentuk kehidupannya dalam Islam, banyak ditulis orang dalam buku-buku sejarah.

Ketika berita mengenai munculnya nabi SAW. Dengan dakwah yang didakwahkannya terdengar oleh Zaid al-Khail, maka disiapkannya kendaraannya. Kemudian diajaknya para pemimpin terkemuka dari kaumnya berkunjung ke Yatsrib (Madinah) menemui Nabi Muhammad SAW. Satu delegasi besar terdiri dari pemimpin kaum pergi bersama-sama dengannya menemui Nabi yang mulia. Antara lain terdapat Zur bin Sadus, Malik bin Jubair, Amir bin Juwain dan lain-lain. Setibanya di Madinah, mereka terus menuju ke masjid Nabawi yang mulia dan memberhentikan unta mereka di depan pintu masjid. Ketika mereka masuk ke Masjid, kebetulan Rasulullah SAW sedang berkhutbah di atas mimbar. Mereka tergugah mendengar ucapan-ucapan Rasulullah, dan kagum melihat kaum muslimin diam mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Ketika Rasulullah SAW melihat mereka, beliau mengucapkan pidatonya kepada kaum muslimin : "Aku lebih baik bagi tuan-tuan sekalian daripada berhala 'Uza dan sekalian berhala yang tuan-tuan sembah. Aku lebih baik bagi tuan-tuan daripada unta hitam dan daripada segala yang tuan-tuan sembah selain Allah."

Ucapan-ucapan Rasulullah SAW dalam pidatonya itu, sangat berkesan di hati Zaid al-Khair. Orang-orang serombongannya terbagi dua. Sebagian menerima panggilan yang hak, dan sebagian yang lain menolak dengan sombong. Sebagian mendambakan surga dan sebagian pasrah ke neraka. Melihat Rasulullah SAW yang berpidato mempesona pendengarnya, dikelilingi orang-orang mukmin yang mencucurkan air mata kesedihan, timbul rasa benci dalam hati Zur bin Sardus yang penuh ketakutan. Dia berkata kepada kawan-kawannya, "Demi Tuhan! Orang ini pasti akan menguasai seluruh bangsa Arab. Demi Tuhan! Saya tidak akan membiarkan kuduk saya dikuasainya selama-lamanya."

Kemudian dia pergi ke negeri Syam. Disana dia mencukur rambutnya seperti pendeta, kemudian dia masuk agama Nasrani.

Zaid al-Khail lain lagi. Ketika Rasulullah SAW selesai berpidato, ia berdiri diantara jamaah kaum muslimin. Zaid seorang laki-laki ganteng, cakap dan berperawakan tinggi. Kalau menunggang kuda, kakinya tergontai hampir sampai tanah. Dia berdiri dengan tubuhnya yang tegap dan berbicara dengan suaranya yang lantang. Katanya, "Ya, Muhammad! Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya engkau Rasulullah."

Rasulullah menoleh kepadanya seraya bertanya, "Siapa Anda?"

Jawab Zaid, "Saya Zaid al-Khail bin Muhailil."

Kata Rasulullah SAW, "Tentunya Anda Zaid al-Khair, bukan lagi Zaid al-Khail. Segala puji bagi Allah yang membawa Anda ke sini dari kampung Anda, dan melunakkan hati Anda menerima Islam. Sejak itu Zaid al-Khail terkenal dengan nama Zaid al-Khair. Kemudian Rasulullah membawanya ke rumah beliau, diikuti Umar bin Khatthab dan beberapa sahabat lain. Sesampainya di rumah Rasulullah, beliau melepaskan alas duduknya kepada Zaid. Tetapi Zaid al-Khair segan menerima dan mengembalikannya kepada beliau. Rasulullah melemparkannya sampai tiga kali, tetapi Zaid al-Khair tetap menolak, karena merasa rikuh duduk di alas duduk Rasulullah yang mulia.

Setelah Zaid duduk dengan tenang di dalam majelis, Rasulullah berkata, "Belum pernah saya mengenal seseorang yang ciri-cirinya berlainan daripada yang disebutkan orang kepadaku melainkan Anda seorang. Hai Zaid! Dalam diri Anda terdapat dua sifat yang disukai Allah dan Rasul-Nya."

"Apa itu, ya Rasulullah?" tanya Zaid.

Jawab Rasululah, "Kesabaran dan penyantun."

Kata Zaid, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku memiliki sifat-sifat yang disukai Allah dan Rasul-Nya."

Kemudian dia berkata lebih lanjut, "Berilah saya tiga ratus penunggang kuda yang cekatan. Saya berjanji kepada Anda akan menyerang negeri Rum dan mengambil negeri itu dari tangan mereka."

Rasulullah mengagumi cita-cita Zaid itu. Kata beliau, "Alangkah besarnya cita-cita Anda, hai Zaid. Belum ada orang yang seperti Anda."

Sebagian orang menemani Zaid, masuk Islam bersamanya. Ketika Zaid dan orang-orang yang sepaham dengannya hendak kembali ke Nejed, Rasulullah berkata, "Alangkah baiknya dia. Banyak keuntungan yang mungkin terjadi seandainya dia selamat dari wabah yang berjangkit di Madinah."

Saat itu Madinah Al-Munawarah sedang dilanda wabah demam panas. Pada suatu malam Zaid al-Khair diserang penyakit tersebut. Zaid al-Khair berkata kepada pengikutnya, "Singkirkan saya ke kampung Qais! Sesungguhnya antara kita dengan mereka tidak ada permusuhan Jahiliyah. Tetapi demi Allah! Saya tidak ingin membunuh kaum muslimin sehingga mereka mati kena wabah penyakitku ini."

Zaid al-Khair meneruskan perjalanan ke kampungnya di Nejed. Tetapi sayang demamnya makin menjadi-jadi. Dia ingin menemui kaumnya di Nejed dan mengharapkan agar mereka masuk Islam di tangannya. Dia telah bercita-cita yang baik. Tetapi suatu cobaan mendahuluinya sebelum cita-citanya terlaksana. Tidak lama kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di perjalanan. Sedikit sekali waktu terluang baginya sesudah dia masuk Islam, sehingga tidak ada peluang untuk berbuat dosa. Dia meninggal tidak lama sesudah dia menyatakan Islamnya dihadapan Rasulullah SAW.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar