ILMU
LADUNI (buah ibadah dan tawasul)
Salah satu Definisi dari Ilmu laduni adalah: seseorang yang menegakan agama Allah dengan sungguh-sungguh waktunya lama capeknya luar biasa dan ilmunya di amalkan dan mengajak orang untuk hidup di jalan Allah tanpa menginginkan sesuatu imbalan apapun, baik berupa materi ataupun jawabatan, maka Allah akan melimpahkan tambahan ilmunya kepada orang itu.
Sebagai sebab yang harus dibangun oleh
seorang salik di jalan Allah, apabila tawasul dilaksanakan dengan sempurnan,
maka ‘ilmu laduni’ akan didatangkan kepadanya sebagai akibat dengan sempurnan
pula. Oleh karena itu, Ilmu Laduni ini bukanlah ilmu yang dihasilkan dari
membaca tulisan atau buku, melainkan didatangkan Allah dari perbendaharaannya
yang rahasia sebagai buah ibadah.Didatangkan sebagai buah dzikir dan mujahadah
yang terbimbing oleh guru ahlinya.Yakni guru mursyid thoriqoh yang suci lagi
mulia yang setiap saat ditawasuli. Allah Ta’ala menyatakan keberadaan ilmu
tersebut dengan firmanNya: “Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu”.
(QS.al-Baqoroh/282).
Datangnya
ilmu laduni ini melalui bisikan hati atau inspirasi dan ilham di dalam kalbu
seorang hamba.Hati yang bersih dari kotoran dan karakter duniawi yang tidak
terpuji.Ilmu tersebut merupakan ilmu warisan sebagai ‘sirr’ atau rahasia ibadah
dan hidmah.Ilmu warisan melalui rahasia amaliah guru-guru ruhaniah yang
ditawasuli setiap saat.Ilmu tersebut merupakan ilmu pengetahuan yang universal
dan “rahmatan lil alamiin”. Pemahaman hati yang mampu menjadikan rongga dada
seorang hamba menjadi lapang baik dalam keadaan susah maupun senang sehingga
menghantarkan manusia kepada keberhasilan hidup, baik kehidupan dunia, agama
maupun akhirat. Berbentuk Ilmu Intuisi yang dihasilkan dari perpaduan antara
ilmu, iman dan amal.
Buku
Ilmu Laduni karangan Muhammad Luthfi Ghozali ini pantas Anda miliki untuk
menambah referensi tentang kitab tasawuf wabil khusus untuk pembahasan di
bidang Ilmu Laduni.
Ilmu
Laduni yang dijelaskan oleh Luthfi (maaf, saya tidak menyebut Ghozali takut
tertukar dengan Al Ghazali, yang karya utamanya tentang Risalah Al Laduniyahnya
menjadi rujukan kitab-kitab yang membahas ilmu Ladunni) cukup berbobot, dengan
alur bahasa yang sederhana dan tidak membuat kita mengernyitkan dahi, padahal
isi bukunya cukup berat untuk dipahami.
Luthfi
menjelaskan bahwa ilmu laduni adalah Ilmu Laddunniyah Robbaniyah, yaitu ilmu
pemberian atau warisan langsung dari kehendak dan urusan Allah SWT. Bagaimana
bentuk ilmu ini dijelaskan secara kongkrit ?Ujud ilmu Ladunni ini berupa ilham
spontan yang memancar dari lubuk hati kemudian terpancarkan melalui akal dan
fikir.Apa yang dijelaskan cukup kongkrit dan logis dengan alasan-alasan yang
diterima oleh akal, ilmu ladunni bukan melulu ilmu supranatural seperti yang
biasa digembor-gemborkan para ahli Supranatural (baca: dukun) dalam memasarkan
produk jualannya, melainkan juga penemuan-penemuan ilmiah yang dinamis dan
aplikatif. Ilmu yang dijelaskan Luthfi ini menarik untuk dijadikan referensi.
Menurut hemat penulis, sebenarnya bila mau buku ini juga bisa dijadikan rujukan
untuk lebih menuju ‘know-how’ bagaimana diaplikasikan di lapangan, bahkan bisa
juga Luthfi menjadikan buku ini sebagai acuan untuk mengkolaborasi pengaktifan
otak sebelah kanan (subconsiuss) diaplikasikan dengan Neuro Linguistic Programming,
sehingga bisa diakses oleh orang dan dipraktekan di dunia usaha yang mereka
geluti dalam kesehariannya.
Tulisan
luthfi di dalam buku tersebut dilengkapi dengan ilustrasi cerita-cerita yang
mampu menghipnosa pembacanya dan mengaktifkan otak kanan pembacanya. Perpaduan
kumulatif dari ayat-ayat yang tersurat(makna muhakamat) dengan ayat-ayat
tersirat (makna mustasyabihat) tersirat dalam nuansa dzikir dan pikir, akan
melahirkan ilmu intuitif, yang datangnya dari bisikan-bisikan kalbu atau ilham
langsung dan spontan, tanpa melalui perantaraan melihat, maupun mendengarkan
yang biasa digunakan dalam otak sadar (otak kiri), karena di dalam hati yang
bersih, Allah mendatangkan hidayahnya, sebagai buah dari ibadah yang dijalani
oleh hambanya.
Banyak
hal yang menarik tak bisa penulis ungkapkan karena buku setebal lebih dari 560
halaman ini bercerita banyak lengkap dengan rahasia hijab yang menutupi tirai
pintu hati dan tujuh pembukanya.
Lain
dari pada itu, penulis juga ingin memberikan masukan-masukan untuk kesempurnaan
buku tersebut agar bisa diterima masyarakat yang lebih luas, mulai dari
kalangan akademisi sampai dengan kalangan umum, apalagi tahun 2009 ini
buku-buku bertemakan spiritual sedang diminati oleh masyarakat luas.
Kaum
sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ilmu ini merupakan ilmu
yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan
dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah
seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan
Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir
‘Alayhis-salam. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai
tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun
dzikir-dzikir tertentu.
Ini
bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh
tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al
Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya
tulis mereka sendiri.
Al
Ghazali rohimahullahu ta’ala dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata:
“Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam
setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata
kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak
dibahas … “.
Dia
juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah,
sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung
dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung
suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari
mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
Abu
Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati.
Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati.
Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”.
(Al Mizan: 1/28)
Ibnu
Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu
sampai hari kiamat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab.Para wali
mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada
mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Pencetus
Wihdatul Wujud (Ibnu Arabi) ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak
akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa
Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari
gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka
tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan.
Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak
ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil
pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu
Laduni (Ibn Taimiyah) sebagai masukan Pro dan Kontra tentang Ilmu Laduni.
Ilmu
Laduni, Antara Hakikat dan Khurafat
Manusia
dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah
mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan
mengabdikan dirinya kepada Allah dengan penuh kesadaran dan pengertian. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.” (An-Nahl: 78)
Pada
hakikatnya, semua ilmu makhluk adalah “Ilmu Laduni” artinya ilmu yang berasal
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para malaikat-Nya pun berkata:
“Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami.” (Al-Baqarah: 32)
Ilmu
laduni dalam pengertian umum ini terbagi menjadi dua bagian.Pertama, ilmu yang
didapat tanpa belajar (wahbiy).Kedua, ilmu yang didapat karena belajar
(kasbiy).
Bagian
pertama (didapat tanpa belajar) terbagi menjadi dua macam:
1.
Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus
disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’),
baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat
Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam
alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu
laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khidhir:
“Yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Di
dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir alaihissalam berkata kepada Nabi
Musa alaihissalam:
“Sesungguhnya
aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku
yang engkau tidak mengetahuinya.Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu
Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”
Ilmu
syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh
setiap mukallaf (baligh dan mukallaf) sampai datang ajal kematiannya.
2.
Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan
kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang diberikan
oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang
dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli
tasawwuf.Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi
ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab
hadits.Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.
Bagian
Kedua
Adapun
bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui
jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti,
berfikir dan lain sebagainya.
Dari
ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah ilmu
yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu
kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi syari’at.Inilah hakikat
pengertian ilmu laduni di dalam Islam.
Khurafat
Shufi
Istilah
“ilmu laduni” secara khusus tadi telah terkontaminasi (tercemari) oleh virus khurafat
shufiyyah. Sekelompok shufi mengatakan bahwa:
“Ilmu
laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah kepada para
wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits(sunnah), tidak bisa
mendapatkannya.
“Ilmu
laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syari’at).Mereka
mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidlir alaihissalam dengan anggapan
bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir
alaihissalam adalah ilmu kasyf (hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami
(261 H.) mengatakan: “Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari
kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi
seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan
saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
Ilmu
syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi
seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan
ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga
mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan diajari
langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya.Seperti Abd.Karim
Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail.Dan
Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.
Untuk
menafsiri ayat atau untuk mengatakan derajat hadits tidak perlu melalui metode
isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di
kalangan mereka
“Hatiku
memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau
“Aku
diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara
apapun.”
Sehingga
akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf
(tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits
(sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli kasyf (tasawwuf).
Bantahan
Singkat Terhadap Kesesatan di atas
Kasyf
atau ilham tidak hanya milik ahli tasawwuf.Setiap orang mukmin yang shalih
berpotensi untuk dimulyakan oleh Allah dengan ilham.Abu Bakar radhiallahu anhu
diilhami oleh Allah bahwa anak yang sedang dikandung oleh isterinya (sebelum
beliau wafat) adalah wanita.Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat
berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan.Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa ilham
atau ilmu Ilahi itu termasuk sebagian balasan amal shalih yang diberikan Allah
di dunia ini. Jadi tidak ada dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu,
bahkan dalilnya bersifat umum, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam:
“Barangsiapa
mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang
belum ia ketahui.” (Al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Anas
radhiallahu anhu, hadits dhaif).
Yang
benar menurut Ahlusunnah wal Jama’ah adalah Nabi Khidhir alaihissalam memiliki
syari’at tersendiri sebagaimana Nabi Musa alaihissalam.Bahkan Ahlussunnah
sepakat kalau Nabi Musa alaihissalam lebih utama daripada Nabi Khidhir
alaihissalam karena Nabi Musa alaihissalam termasuk Ulul ‘Azmi (lima Nabi yang
memiliki keteguhan hati dan kesabaran yang tinggi, yaitu Nabi Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa dan Muhammad).
Adapun
pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasalam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu), Al-Qur’an
dan As-Sunnah.Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami Al-Kitab dan
As-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan ada orang selain Nabi
shallallahu ‘alaihi wasalam yang mengambil ilmu langsung dari Allah kapan saja
ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.
Anggapan
bahwa ilmu syari’at itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan
untuk merusak Islam.Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan
kesesatan.Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari
cahaya Islam.
Anggapan
bahwa dengan “ilmu laduni” sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh
ulama Ahlussunnah termasuk Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan: “Setiap
hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).”
Inilah
penyebab lain bagi kesesatan tasawwuf. Banyak sekali kesyirikan dan kebid’ahan
dalam tasawwuf yang didasarkan kepada hadits-hadits palsu. Dan ini pula yang
menyebabkan orang-orang sufi dengan mudah dapat mendatangkan dalil dalam setiap
masalah karena mereka menggunakan metode tafsir bathin dan metode kasyf dalam
menilai hadits, dua metode bid’ah yang menyesatkan.
Tiada
kebenaran kecuali apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Beliau bersabda:
“Wahai
manusia belajarlah, sesungguhnya ilmu itu hanya dengan belajar dan fiqh (faham
agama) itu hanya dengan bertafaqquh (belajar ilmu agama/ilmu fiqh).Dan
barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan difaqihkan
(difahamkan) dalam agama ini.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Thabrani, Al-Bazzar dan Abu
Nu’aim, hadits hasan). (Abu Hamzah As-Sanuwi).
Maraji’:
Al-Fathur
Rabbaniy, Abdul Qadir Al-Jailani (hal. 159, 143, 232).
Al-Fatawa
Al-Haditsiyah, Al-Haitamiy (hal. 128, 285, 311).
Ihya’
Ulumuddin, Al-Ghazali (jilid 3/22-23) dan (jilid 1/71).
At-Tasawwuf,
Muhammad Fihr Shaqfah (hal. 26, 125, 186, 227).
Fathul
Bariy, Ibnu Hajar Al-Asqalaniy (I/141, 167).
Fiqhut
Tasawwuf, Ibnu Taimiah (218).
Mawaqif
Ahlusunnah, Utsman Ali Hasan (60, 76).
Al-Hawi,
Suyuthiy (2/197).
Menurut
Ibn Al Arabi, dalam mengantarkan manusia untuk mengenal dirinya, untuk
membawanya kepada proses kesempurnaan diri, ada beberapa tahap agar memudahkan
kita (mahluk) untuk menuju Sang Kholiq, diantaranya :
1.
Ta’alluq (menggantungkan hati dan pikiran hanya untuk Allah). Dalam istilah
lain dikenal dengan Dzikrullah (dzikir kepada Allah). Dengan berusaha mengingat
dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah, dimanapun berada.
Sesuai dengan firman-Nya, yang artinya : Yakni orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata :”Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka”.
2.
Takhalluq. Takhalluq merupakan suatu upaya proses penyempurnaan diri melalui
pengejawantahan sifat-sifat Tuhan yang Maha Mulia untuk dapat ditiru dalam
sifat-sifat seorang mukmin. Sehingga ia memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana
sifat-sifat Tuhan. Proses ini bisa juga disebut proses internalisasi sifat
Tuhan ke dalam diri manusia. Seperti halnya banyak diantara kalangan sufi yang
dalam hal ini menyandarkan hadits nabi yang berbunyi “Takhallaq bi akhlaq-I
Allah” yang artinya berakhlaklah seperti akhlak Tuhan, atau “Takhalaq bi asma
Allah” artinya berakhlak dengan nama-nama Allah.
3.
Tahaqquq (Aktualisasi Sikap). Tahaqquq adalah merupakan suatu proses untuk
mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai mukmin, sebagaimana
tercermin dalam proses takhaluq – untuk kemudian mengaplikasikannya dalam
perilaku kehidupan sehari-hari. Ia merupakan proses terakhir dari proses
pengejawantahan proses takhalluq untuk menuju manusia yang sempurna. Sebuah
gambaran singkat menuju proses penyempurnaan diri manusia, yang berangkat dari
pengenalan arti dan hakikat manusia itu sendiri, untuk kemudian sampai kepada
Tuhannya.
Demikian
ringkasan buku “Mengintip Alam barzakh, Ilmu Ladunni, buah ibadah dan tawassul”
ditambahkan masukan pro dan kontra Ilmu Laduni untuk melengkapi
pembahasannya.Semoga berguna bagi rekan pencari dan sahabat semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar