Cari Blog Ini

Lencana Facebook

Minggu, Maret 23, 2014

berbagai pandangan tentang tasauf

Apa kata Ulama Mengenai Tasauf Dan Toriqah?
Syekh Zakaria al-Anshari mendefinisikan Tasawuf sebagai berikut :
التصوف علم تعرف به أحوال تزكية النفس وتصفية الأخلاق وتعمير الظاهر والباطن لنيل السعادة الأبدية
Tasawuf adalah sebuah disiplin ilmu untuk mengetahui cara-cara membersihkan hati dan memuliakan akhlaq serta membangun jiwa dan raga demi meraih kebahagiaan yang kekal abadi.
Sehingga orang Sufi adalah sebagaimana perkataan Syekh Muhammad Mitwalli al-Sya’rawi :
إن الصوفي هو الذي يتقرب إلى الله بفروض الله ثم يزيدها بسنة رسول الله من جنس ما فرض الله وأن يكون عنده صفاء في استقبال أقضية العبادة فيكون صافياً لله، والصفاء هو أن تصافي الله فيصافيك الله
Seseorang dikatakan Sufi apabila ia mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah wajib dan sunnat, memiliki kejernihan hati saat mengabdi sehingga menjadi suci karena Allah. Kesucian yang sesungguhnya adalah apabila kita mensucikan Allah maka Allah pun mensucikan kita.
Demikianlah sekelumit pengantar bahwasanya ilmu Tasawuf adalah ilmu yang mulia dan sangat urgen sebagaimana dinyatakan oleh para ulama’ di atas. Adapun istilah Tasawuf yang tidak pernah ada di zaman Rasul dan Sahabat maka Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi mengatakan :
التصوف إسم حادث لمسمى قديم إذ إن مسماه لا يعدو كونه سعيا إلى تزكية النفس من الأوضار العالقة به عادة كالحسد والتكبر وحب الدنيا وحب الجاه وذلك ابتغاء توجيهها إلى حب الله عز وجل والرضا عنه والتوكل عليه والإخلاص له
Tasawuf memang merupakan istilah baru namun substansinya sudah lama menjadi anjuran buat kita, sebab Tasawuf tiada lain adalah usaha untuk mensucikan qolbu dari segala kotoran yang sudah terlanjur melekat seperti dengki, sombong, cinta dunia dan tahta, dan semua itu dialihkan kepada cinta Allah, ridho Allah, tawakal kepada Allah serta ikhlas karena dan untuk Allah Swt. semata.
Memanglah benar para imam-imam mazhab terdahulu tidak memnulis banyak dan khusus tentang ilmu Tasawuf namun Syekh Abdul-Wahhab al-Sya’rani Ra. mengatakan :
إِنما لم يضع المجتهدون في ذلك كتاباً لقلة الأمراض في أهل عصرهم وكثرة سلامتهم من الرياء والنفاق ثم بتقدير عدم سلامة أهل عصرهم من ذلك فكان ذلك في بعض أناس قليلين لا يكاد يظهر لهم عيب وكان معظم همة المجتهدين إِذ ذاك إِنما هو في جمع الأدلة المنتشرة في المدائن والثغور مع أئمة التابعين وتابعيهم التي هي مادة كل علم وبها يُعرف موازين جميع الأحكام فكان ذلك أهم من الإشتغال بمناقشة بعض أناس في أعمالهم القلبية
Para imam mujtahid terdahulu tidak banyak menyusun buku tentang ilmu Tasawuf sebab penyakit hati belum meraja lela saat itu sehingga yang menajadi konsentrasi mereka adalah mengumpulkan nash-nash dari para Tabi’in dan Tabi’it-Tabi’in untuk membuat kaidah-kaidah serta menetapkan hukum-hukum syari’at. Hal itu lebih penting dari pada membahas masalah-masalah batin yang hanya menimpa sebagian orang saja.
Namun disamping konsentrasi pada ilmu fiqh, imam-imam tersebut juga sempat menyinggung tentang urgensi Tasawuf disamping fiqh sebagaimana perkataan pendiri Mazhab Maliki; Imam Malik bin Anas Ra. :
من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق ومن جمع بينهما فقد تحقق
Barang siapa bertasawuf tanpa bertafaqquh maka ia zindiq, barang siapa bertafaqquh tanpa bertasawuf maka ia fasiq, dan barang siapa menggabungkan dua-duanya maka ia telah berhasil (sampai kepada hakekat).
Sedangkan pendiri Mazhab Syafi’i; Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i Ra. mengatakan :
فقيها وصوفيا فكن ليس واحدا # فإني وحق الله إياك أنصح
فذلك قاس لم يذق قلبه تقى # وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح
Jadilah Faqih sekaligus Sufi, jangan jadi salah satu..
Demi Allah aku menasehatimu!
Faqih saja, tak bertaqwa, keras hatinya..
Sufi saja, tak berilmu, bagaimana bisa baik selalu?
Adapun pendiri Mazhab Hanbali; Imam Ahmad bin Hanbal Ra. mengatakan :
عليك بمجالسة هؤلاء القوم فإنهم زادوا علينا بكثرة العلم والمراقبة والخشية والزهد وعلو الهمة، ولا أعلم أقواما أفضل منهم
Bergaullah dengan kaum Sufi sebab mereka telah memberikan banyak ilmu, menambah semangat beribadah dan rasa takut kepada Allah, memudahkan muraqabah serta zuhud, dan menurutku tidak ada golongan yang lebih mulia dari mereka.
Setelah mengetahui betapa pentingnya bertasawuf maka dapat disimpulkan bahwasanya Tasawuf hukumnya wajib sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ghazali Ra. :
الدخول مع الصوفية فرض عين إذ لا يخلو أحد من عيب إلا الأنبياء عليهم الصلاة والسلام
Bergabung dengan kaum Sufi adalah fardu ain sebab tiada satupun bebas dari cacat hati melainkan para nabi.
Kata Imam Junaid al-Baghdadi Ra. :
إذا أراد الله بعبد خيرا أوقعه إلى الصوفية ومنعه صحبة القراء
Bila Allah menghendaki yang baik kepada seorang hamba, Ia akan menggabungkannya dalam golongan Sufi dan menjauhkannya dari mereka yang hanya membaca saja!
Perkataan Imam Ghazali dan Imam Junaid dikuatkan lagi oleh perkataan Syekh Abul-Hasan al-Syadzuli Ra. :
من لم يتغلغل في علمنا هذا مات مصرا على الكبائر وهو لا يشعر
Barang siapa tidak mau mendalami ilmu Tasawuf maka ia akan mati dalam keadaan penuh dosa besar tanpa ia merasakannya!
Syekh Ahmad al-Qath’ani mengatakan :
فعلم التصوف من أشرف العلوم الشريفة وأنفع المعارف السامية المنيقة، رفيع القدر حميد الأثر، يزكي النفوس ويصقل القلوب ويهذب الطباع، يسير بالروح إلى بارئها ويحدو بها إلى خالقها، يستبدل الخبيث بالطيب والسيء بالحسن . وأهله هم أهل الله وخاصته الدالون عليه تعالى الواقفون بالإخلاص بين يديه في الفرق والجمع والعطاء والمنع، أهل الأدب الرفيع الراقي والسمو الأخلاقي، طريقهم أصوب الطرق ومنهجهم الإخلاص والصدق، ولو جمع عقل كل ذي عقل وحكمة كل ذي حكمة ليحسنوا ما هم عليه ما وجدوا إلى ذلك طريقا، فقد تشبعت بواطنهم وظواهرهم بنور الهداية المحمدي، وما بعده نور ولا هدى
Ilmu Tasawuf merupakan sebaik-baik ilmu dan pengetahuan yang paling bermanfaat, paling agung dan paling suci, kedudukannya tinggi, pengaruhnya terpuji, membersihkan nurani, meneguhkan hati, mendidik prilaku, membawa jiwa kepada pemiliknya, mengantar cinta kepada penciptanya, menggantikan yang buruk dengan yang baik, menggantikan yang busuk dengan yang wangi. Ahli Sufi adalah Ahli Allah, pilihan-pilihan Allah, orang-orang yang menjadi guide kepada Allah, yang selalu ikhlas dan ridho dalam keadaan apapun; berpisah, bertemu, diberi ataupun ditolak. Mereka memiliki etika yang tinggi serta akhlaq yang melangit, jalan mereka adalah jalan yang paling benar, metode mereka adalah ketulusan dan keikhlasan. Setiap orang berakal dan setiap orang bijak tidak akan mampu memuji kaum Sufi sebab jiwa-raga mereka telah dipenuhi cahaya dan petunjuk, dan tidak ada lagi cahaya dan petunjuk setelahnya!
Maulana Syekh Mukhtar Ali Muhammad al-Dusuqi Ra. menguatkan dan membenarkan semua pernyataan ulama’ di atas, beliau menambahkan bahwasanya kata Tasawuf berasal dari kata Shafa’ yang artinya kesucian, maka kata Sufi sebetulnya merupakan fi’il madhi mabni lil-majhul yang artinya disucikan sebagaimana halnya kata Ufi atau Syufi yang artinya disembuhkan dan kata Nudi yang artinya dipanggil. Kata shafa’ (kesucian) telah disebutkan dengan jelas dalam al-Qur’an yang berbunyi :
” يا مريم إن الله اصطفاك وطهرك واصطفاك على نساء العالمين “
Betapa banyak yang keberatan dengan Tasawuf hanya karena istilahnya tidak ada pada zaman Nabi dan Sahabat, padahal banyak ilmu-ilmu lain juga yang tidak kita dengar pada zaman Nabi seperti ilmu Manthiq, ilmu Qawafi wa Arudl, ilmu Asybah wa Naza’ir, ilmu Jarh wa Ta’dil, dll. Mengapa mesti ilmu Tasawuf saja yang diteror? Perlu diketahui bahwa isi lebih penting dari sekedar istilah atau nama! Dan ruang lingkup ilmu Tasawuf tidak keluar dari tuntunan dan tuntutan ajaran islam yang semurni-murninya.
Adapun istilah Thariqah atau Tarekat maka Imam Qusyairi mengatakan :
الطريقة هي مجموعة الآداب والأخلاق والعقائد التي يتمسك بها طائفة الصوفية
Thariqah tiada lain adalah etika dan akhlaq serta keyakinan yang dianut oleh kaum sufi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa orang sufi otomatis berthariqah! Syekh Abu Thalib al-Makki mengatakan :
إن طريق الصوفية عبارة عن تقديم المجاهدة ومحو الصفات المذمومة وقطع العلائق كلها والإقبال بكنه الهمة على الله تعالى
Tarekat Sufi merupakan sebuah usaha untuk membasmi sifat-sifat keji dan menembus segala yang menghalangi ke jalan Allah, kemudian dengan penuh himmah menghadap Allah Swt.
Sedangkan Syekh Abdul-Halim Mahmud Ra. mengatakan :
الطرق الصوفية وسائل لتزكية النفس وتهذيب الخلق وتحسين السلوك والسير بالمريد في طريق الإتباع العملي للرسول صلى الله عليه وسلم ليكون مؤمنا حقا ومسلما صدقا
Tarekat-Tarekat Sufi adalah jalan-jalan yang lurus menuju penyucian jiwa, perbaikan akhlaq, dan pengamalan yang sempurna terhadap Sunnah Rasul Saw. agar menjadi orang yang benar-benar muslim dan mukmin.
Adapun Maulana Syekh Mukhtar Ali Muhammad al-Dusuqi Ra. mendefinisikan Thariqah sebagai berikut :
الطريقة دعوة إلى الله ورسوله لإحياء السنة ونبذ البدعة بالحكمة والموعظة الحسنة ولها شيخ سيفه ودرعه كتاب الله وسنة رسوله وتجب على المريد طاعة الشيخ كطاعة المأموم للإمام في الصلاة لا تخلو عن كونها طاعة لله
Thariqah adalah seruan kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghidupkan Sunnah dan mengikis Bid’ah dengan Hikmah dan Mau’izah Hasanah, dan Thariqah dipimpin oleh seorang Syekh yang berpedangkan al-Qur’an dan berprisaikan Sunnah. Dan wajib bagi seorang murid mentaati dan mengikuti Syekhnya sebagaimana wajibnya ma’mum mentaati dan mengikuti imamnya dalam solat, yang mana hal tersebut tidak keluar dari taat kepada Allah Swt.
Adapun sejarah perkembangan dan didirikannya Tarekat-Tarekat Sufi maka berawal sejak Nabi memberikan lafaz-lafaz dzikir yang berbeda kepada para sahabat yang kemudian para sahabat (khususnya Imam Abu Bakr dan Imam Ali) menurunkannya kepada penerus-penerus selanjutnya sehingga golongan yang berdzikir dengan dzikir Imam Abu Bakr Ra. dinamakan dengan Thariqah Khalwatiyah, sedangkan golongan yang berdzikir dengan dzikir Imam Ali Ra. disebut Thariqah Naqsyabandiyah. Selanjutnya pada masa Imam Junaid Ra. kedua Thariqah tersebut disatukan sampai akhirnya dibenahi kembali dan disempurnakan pada masa wali kutub yang empat sehingga mulai bercabang banyak namun semuanya berasalkan dan bertujuankan satu.
Berdirinya Tarekat-Tarekat Sufi akhir zaman ini ibarat berdirinya sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit, dipandang perlu karena memperhatikan banyaknya kebodohan dan penyakit, begitu juga setelah maksiat dan kekotoran hati meraja-lela maka dipandang perlu mendirikan perguruan-perguruan spiritual oleh para auliya’ yang disebut dengan Thariqah, sebagaimana halnya juga dengan berdirinya mazhab-mazhab fiqh oleh para imam syari’at pada masa-masa jauh setelah masa Nabi karena memang dipandang perlu pada masa itu.
Begitu banyak sekolah, madrasah dan universitas yang didirikan namun tujuannya sama, demikian juga banyaknya rumah sakit yang didirikan tidak menafikan bahwa tujuannya satu yaitu menyembuhkan orang-orang sakit, maka banyaknya Tarekat Sufi yang berkembang sampai saat ini juga tidak berbeda tujuannya yaitu ridho Allah dan Rasul-Nya Saw. Imam al-Bushairi mengatakan :
فكلهم من رسول الله ملتمس # غرفا من البحر أو رشفاً من الديم
Syekh Muhammad Mitwalli al-Sya’rawi mengatakan :
وكل إنسان وصل إلى الله بطريق من الطرق أو صيغة من الصيغ يعتقد أن الطريق الذي سلكه إلى الله هو أقصر الطرق ولذلك اختلف الناس لأن وسائل عبادة الله متعددة فإذا دخل إنسان من باب وطريق وأحس أنه نقله وأوصله إلى الله بادر إلى نقله لمن يحب، ومن هنا فإن معنى أن هناك طرقا صوفية كثيرة هو أن أناسا وصلوا إلى الصفاء من الله سبحانه وتعالى وجاءتهم الإشراقات والعلاقات التي تدل على ذلك في ذواتهم فعلموا أن الطريق الذي سلكوا فيه إلى الله صحيح وكلما زادوا في العبادة زاد الله في العطاء
Syekh Abdul-Halim Mahmud Ra. juga mengatakan :
يقول السادة الصوفية : التوحيد واحد والطرق إلى الله كنفوس بني آدم . ويعني قولهم هذا هو أن نتيجة سلوك الصوفية لا تختلف من قطر لقطر ولا من زمن لزمن ولا من شخص لشخص، إنها التوحيد، توحيد الله سبحانه في ذاته وتوحيده في خلقه وتصوفه وفي عنايته بالكون ورعايته ألا له الخلق والأمر إليه يرجع الأمر كله . وإذا كان التوحيد واحدا وإذا كانت هذه الحقيقة من طبيعتها لا تتغير ولا تختلف فإن طريق القرب من هذه الناحية طريق تذوقها اليقين، فالطرق تختلف والثمرة واحدة . أما السبب في اختلاف الطرق فهو أن طبائع الناس وفطرهم مختلفة يصلح لبعضها ما لا يصلح للبعض الآخر وقد يصلح لسلوك طريق ولا يصلح لسلوك طريق آخر وقد يصلح طريق لشخص ولا يصلح لآخر . والناس منذ أن وجد الناس يحاولون جهدهم التقرب من الله لأن في القرب من الله كمالا ذاتيا وذلك أن الله هو الكمال المطلق فالقرب منه سبحانه قرب من الكمال، وقد ورد ” تخلقوا بأخلاق الله ” وورد ” كونوا ربانيين ” والناس كذلك يحاولون جهدهم القرب من الله لأنه من كان قريباً من الله كان الله قريباً منه بالرعاية والعناية والتوفيق، وسلك الناس طرقا إلى الله مؤسسة على الأساس العام وهو الشريعة . سلك بعضهم طريق الذكر على الخصوص وسلك بعضهم طرق الصوم على الخصوص وسلك بعضهم طرق الصلاة على الخصوص وهكذا . ونجحت بعض هذه المسالك في الوصول إلى القرب من الله فرسمها من نجحت معه طريقا وبينها سبيلا ودعا إليها مسلكا وذاعت فكانت طريقة صوفية، وهذا منشأ الطرق . إنها لا تعدو أن تكون إبرازا لزاوية معينة من زوايا الشريعة دون إهمال لسائرها بل من التمسك بسائرها، ومن أهمل شريعا من الشريعة فليس من التصوف في شيء
Dr. Muhammad Ahmad Darniqah mengatakan :
اختلفت أسماء الطرق باختلاف أسماء مؤسسيها كاختلاف أسماء المدارس والجامعات، والخلافات التي كانت – ولا تزال – تنحصر في المنهج التربوي والرسوم العملية فقط كالزي والأوراد والأحزاب وغيرها . أما الغاية القصوى من الطرق الصوفية جميعها تتمثل في غاية خلقية هي إنكار الذات والصدق في القول والعمل والصبر والخشوع ومحبة الغير والتوكل وتزكية النفس والتقرب إلى الله وغير ذلك من الفضائل التي دعا الإسلام إليها . فقد كان مشايخ الطرق يطلبون من المريدين التوبة عن المعاصي والذنوب والإستجابة لله ولرسوله عليه الصلاة والسلام واتباع السنة وكثرة الإستغفار وأداء الواجبات وامتثال الأوامر واجتناب النواهي والعمل بالشريعة وتطهير القلب وتزكية النفس وإصلاح المعتقد، كما كانوا يلقنونهم الأذكار المأثورة ويحذرونهم من الآفات الإجتماعية ويحضونهم على حب الله والسعي لنيل رضاه وحب الرسول والصالحين
Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani Ra. mengatakan :
ما أبشع ادعاء المبطلين عندما ينكرون على تعدد الطرق التي هي مدارس التصوف ويقولون : إن الله واحد والدين واحد والرسول صلى الله عليه وسلم واحد والسنة واحدة والكتاب واحد فما هي دواعي التفرقة ؟!؟ وينادون بأن يجتمع كل المسلمين على طريقة واحدة، وما أبلغ الرد عليهم لإحباط حجتهم وقمع بدعتهم بأن هذا تطاول على الله، فالله واحد ورسالات الأنبياء متعددة، فلماذا لم يرسل الله رسله برسالة واحدة شكلا وموضوعا وتتكرر هذه الرسالة على مر العصور ؟ لكن الله سبحانه وتعالى جعل لكلٍ شرعةً ومنهاجا وقال تعالى : ” ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ” .. فهذا طعن في مشيئة الله سبحانه وتعالى
Sedangkan Maulana Syekh Mukhtar Ra. menambahkan bahwasanya banyaknya pintu menandakan luasnya rumah, banyaknya keran menandakan banyaknya air, maka banyaknya Thariqah (jalan menuju Allah) menandakan mudah dan besarnya rahmat, ampunan dan ridho Allah Swt.
Setelah membaca penjabaran di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya kita semua sangat membutuhkan Tasawuf dan Thariqah untuk dijadikan pegangan dalam perjalanan spiritual menuju Allah dan Rasul-Nya sebagaimana kita berpegang kepada sebuah mazhab dalam menjalani syari’at islam.
Seorang bertanya kepada Mufti Mesir; Dr. Ali Jum’ah al-Syafi’i: Mengapa harus mempelajari akhlaq dan etika serta pembersihan hati dari ilmu Tasawuf? kenapa tidak langsung saja dari al-Qur’an dan Sunnah? Dr. Ali Jum’ah menjawab :
هذا كلام ظاهره فيه الرحمة وباطنه من قبله العذاب لأننا ما تعلمنا أركان الصلاة وسننها ومكروهاتها بقراءة القرآن والسنة وإنما تعلمنا ذلك من علم يقال له علم الفقه صنفه الفقهاء واستنبطوا كل تلك الأحكام من القرآن والسنة، فماذا لو خرج علينا من يقول : نتعلم الفقه وأحكام الدين من الكتاب والسنة مباشرة، ولن تجد عالما واحدا تعلم الفقه من الكتاب والسنة مباشرة . وكذلك هناك أشياء لم تذكر في القرآن والسنة ولابد من تعلمها على الشيخ ومشافهته ولا يصلح فيها الإكتفاء بالكتاب كعلم التجويد بل والإلتزام بالمصطلحات الخاصة به، فيقولون مثلا : المد اللازم ست حركات، فمن الذي جعل ذلك المد لازما ؟ وما دليل ذلك ؟ ومن ألزمه للناس ؟ إنهم علماء هذا الفن . كذلك علم التصوف علم وضعه علماء التصوف من أيام الجنيد رضي الله عنه من القرن الرابع إلى يومنا هذا
Orang yang mengatakan bahwa belajar dari al-Qur’an dan Sunnah saja cukup dan lebih baik maka perkataan itu manis di telinga namun meracuni hati penerimanya, sebab tidak ada dari kita yang mengetahui rukun-rukun solat, sunnat-sunnta solat maupun makruh-makruh solat langsung dari Qur’an dan Sunnah, melainkan dari sebuah disiplin ilmu yang disebut ilmu Fiqh yang telah digagas oleh para ulama’ yang mengistinbath semua hokum tersebut dari Qur’an dan Hadits. Bagaimana kalau ada yang mengatakan: Jangan belajar hukum-hukum islam dari ilmu Fiqh tapi belajar langsung dari Qur’an dan Sunnah saja? Ketahuilah bahwa sekarang tidak ada satupun orang alim yang belajar Fiqh langsung dari Qur’an dan Sunnah. Ketahui juga bahwa ada beberapa hal yang tidak dapat diketahui langsung dari Qur’an dan Sunnah, melainkan harus dari seorang guru, dari buku-pun tidak cukup, seperti ilmu Tajwid dan kaidah-kaidah khasnya, contohnya: Mad Lazim enam harokat, siapa yang menjadikan mad itu lazim? apa dalilnya? dan siapa yang melazimkannya kepada kita? Mereka adalah ahli-ahli ilmu Tajwid. Begitu juga ilmu Tasawuf; sebuah disipiln ilmu yang digagas oleh ulama’ Tasawuf semenjak masa Imam Junaid pada abad keempat sampai saat ini.
Bila telah disepakati tentang kewajiban bertasawuf dan bertarekat maka bolehkah bertarekatkan lebih dari satu atau bahkan banyak? Maulana Syekh Mukhtar Ra. menjawab bahwa hal tersebut tidak boleh sebab seorang murid laksana pasien yang harus memasuki satu rumah sakit dan mengikuti resep satu orang dokter, apabila mengkonsumsi banyak obat melalui resep banyak dokter maka akan over dosis. Begitu juga apabila membaca banyak wirid dari banyak Syekh maka rohnya bisa berantakan! Apabila mencampur-adukkan banyak mazhab (talfiq) maka syari’atnya akan kacau! Semua baik dan benar, semua satu tujuan, namun demi keselamatan kita harus melalui satu jalan saja! Banyak jalan menuju Jakarta tapi apakah dapat menempuh semua jalan itu dalam satu waktu? Banyak kendaraan umum menuju Bogor namun apakah dapat menaiki semua kendaraan itu dalam satu waktu dan satu perjalanan? Di setiap masjid ada imam solat, apakah dapat menjadi ma’mum di semua masjid itu dalam satu waktu? Banyak sekali laki-laki di muka bumi ini, apakah boleh seorang perempuan menikahi dua lelaki saja dalam satu waktu?
Imam Abdul-Wahhab al-Sya’rani Ra. mengatakan :
ومن شأنه أن لا يكون له إلا شيخ واحد فلا يجعل له قط شيخين لأن مبنى طريق القوم على التوحيد الخالص
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi Ra. berkata :
اعلم أنه لا يجوز لمريد أن يتخذ له إلا شيخا واحدا لأن ذلك أعون له في الطريق وما رأينا مريدا قط أفلح على يد شيخين فكما أنه لم يكن وجود العالَم بين إلهين ولا المكلف بين رسولين ولا امرأة بين زوجين فكذلك المريد لا يكون بين شيخين
Syekh Abu Yazid al-Busthami Ra. berkata :
من لم يكن له أستاذ واحد فهو مشرك في الطريق والمشرك شيخه الشيطان
Syekh Ali al-Murshefi berkata :
من ابتلي بصحبة شيخين فأكثر فليجعل شيخه الحقيقي في حاشية قلبه بجانب محبة رسول الله صلى الله عليه وسلم لأنه نائب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في نصح أمته وإرشادهم إلى طرق الهدى
Dan amat perlu mengamati firman Allah di bawah ini yang jelas-jelas menganjurkan kita untuk taslim kepada satu orang saja :
” ضرب الله مثلا رجلا فيه شركاء متشاكسون ورجلا سلما لرجل هل يستويان مثلا الحمد لله بل أكثرهم لا يعلمون “
Bolehkah pindah tarekat? Boleh-boleh saja dengan alasan-alasan yang bisa diterima, misalnya syekhnya ternyata tidak benar-benar syekh yang kamil, atau karena telah menemukan tarekat yang lebih tinggi dan unggul dan lain sebagainya. Boleh saja pindah rumah sakit atau pindah sekolah dengan berbagai alasan yang masuk akal, maka boleh juga pindah mazhab atau tarekat dengan berbagai alasan yang masuk akal dan hati. Yang penting jangan dicampur-adukkan! Syekh Abdul-Halim Mahmud Ra. mengatakan :
وأما الدخول في طريقة أخرى بعد ذلك فلا مانع منه ما دام الدخول بقلب سليم ورغبة صادقة في التطهر والتزكي، وعلى من يريد الدخول في أي طريقة أن يقتنع أولا بأهمية هذا الدخول وأن يصدق في العزم عليه
Tasawuf dan Tarekat apakah boleh buat semua umur dan semua orang? atau hanya untuk mereka yang sudah tua, sudah berpendidikan dan sudah faham syari’at? Perlu diketahui bahwasanya inti Tasawuf dan Thariqah adalah dzikir, selawat, cinta ahlul-bait, mengikuti wali mursyid dan mengamalkan semua ajaran islam dengan sebaik-baiknya. Apakah semua itu hanya untuk yang sudah tua saja? Apakah perintah untuk berdzikir dan berselawat hanya untuk yang sudah berpendidikan saja? Apakah anak-anak kecil belum boleh mencintai ahlul-bait dan mengikuti pewaris Rasul? Justru dengan Thariqah-lah kita mengamalkan syari’at dengan benar dan sempurna!
Oleh karena itu dalam Thariqah terdapat marhalah-marhalah suluk tertentu untuk masing-masing umur sesuai resep Syekh yang memang ahli di bidangnya, yang disebut spesialis dzikir (ahli dzikir), Allah berfirman :
” فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون “
Jangan sekali-kali difahami bahwa Thariqah hanya mengajak kepada berdiam lama dalam rumah, mengabaikan syari’at dan melalaikan kewajiban sehari-hari! Thariqah justru menghimbau kepada kejayaan di dunia dan akhirat serta kesuksesan intlektual maupun spiritual.

Sabtu, Maret 22, 2014

11 Tanda Mencintai Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam

11 Tanda Mencintai Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam

Seseorang yang mengklaim bahwa dia mencintai seseorang akan lebih memilih yang dicintai dibanding semua orang, ia juga akan lebih memilih apa yang disukai oleh yang dicintainya, jika tidak demikian maka dia tidak akan bertindak sesuai yang dicintanya dan artinya cintanya juga tidak akan tulus.
Tanda-tanda berikut ini akan menjadi jelas pada mereka yang benar-benar mencintai Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam,

Pertama: Tanda pertama cinta kepada Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah bahwa dia akan mengikuti contoh-contohnya, menerapkan cara Nabi saw dalam kata-kata, perbuatan, ketaatan kepada perintah-Nya, menghindari apa pun yang dilarang dan mengadopsi sikap Nabi saw pada saat diberi kemudahan, sukacita, kesulitan, dan penderitaan. Allah berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad) dan Allah akan mencintaimu.” [Al-Imran: 31]

Kedua: Tanda kedua adalah bahwa dia akan menyingkirkan keinginan sendiri dan nafsunya dengan mengikuti hukum yang didirikan dan didorong oleh Nabi SallAllah alaihi wa Sallam. Allah berfirman, “Kepada orang-orang sebelum mereka yang telah membuat tempat tinggal mereka di tempat tinggal (Kota Madinah), dan karena keimanannya mereka mengasihi orang yang telah beremigrasi ketempat mereka, mereka tidak menemukan irihati dan dengki dalam dada mereka untuk apa yang telah diberikan dan lebih memilih mereka atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sendiri memiliki kebutuhan. ” [Al Hasyr: 9]

Ketiga: Tanda ketiga adalah bahwa kemarahan seseorang karena orang lain hanya demi mencari keridhaan Allah. Anas, putra Malik diberitahu oleh Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, “Anakku, jika Anda dapat menahan diri dari dendam di hati Anda dari pagi hingga sore, kemudian melakukannya.” Dia kemudian menambahkan, “Anakku, yang merupakan bagian dari jalan kenabian bahwa barang siapa yang menghidupkan kembali cara saya dan mengasihi Aku, dan barangsiapa mencintaiku akan bersama dengan saya di surga.” [Sunan Tirmidh, Kitab al-Ilm, Vol 4, Halaman 151]

Jika seseorang memiliki kualitas baik ini, maka dia memiliki cinta yang sempurna untuk Allah dan Rasul-Nya. Jika dia menjadi sedikit kurang dalam kualitas ini maka cintanya tidak sempurna. Bukti ini ditemukan dalam ungkapan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, ketika seseorang menghadapi hukuman karena mabuk. Sebagaimana orang itu akan menerima hukuman seorang pria mengutuk sang pelaku, dan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, “Jangan mengutuk dia. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” [Sahih Bukhari, Kitab al-Hudud, Vol 3, Halaman 133]

Keempat: Tanda keempat adalah bahwa seseorang yang mencintai selalu menyebutkan nama Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, dalam kelimpahan – siapa mencintai sesuatu, terus-menerus pada lidahnya bersalawat kepada Nabi saw. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 32]

Kelima: Tanda kelima adalah kerinduan untuk bertemu Nabi SallAllahu Alaihi wa Sallam. Setiap kekasih rindu untuk bersama mereka yang tercinta. Ketika suku Asy’ariyah mendekati Madinah, mereka mendengar nyanyian, “Besok, kita akan bertemu dengan orang yang kita cintai, Muhammad saw dan para sahabatnya!” [Dalail an-Nabuwwah lil Baihaqi, Jilid 5, Halaman 351]

Keenam: Tanda keenam adalah bahwa setiap mengingat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, seseorang yang mencintainya akan ditemukan memuji dan menghormati setiap kali namanya disebutkan dan kemudian menampilkan kerendahan hatinya dan lebih merendahkan dirinya sendiri ketika ia mendengar namanya. Kami diberitahu oleh Isaac at-Tujibi bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, setiap kali para sahabat mendengar namanya disebutkan mereka menjadi lebih rendah hati, kulit mereka gemetar dan mereka menangis karena cinta. Adapun para pengikut lain dari Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, beberapa sahabat mengalami rasa cinta yang luar biasa sehingga meneriakkan salam kerinduan untuknya, sedangkan yang lain melakukannya karena rasa hormat dan penghargaan pada Rasulullah sawi. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 33]

Ketujuh: Tanda ketujuh adalah ungkapan kasih yang diungkapkan untuk Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, dan para ahlul bayt (keturunan Nabi saw) dan sahabatnya – para Muhajirin dan bani Ansar sama besarnya demi kehormatan Nabi saw. Seseorang dengan tanda ini akan ditemukan memusuhi orang-orang yang membenci mereka.

Nabi saw berkata kepada umatnya sambil menunjuk cucunya Sayidina Al Hasan dan Al Husain, semoga Allah senang dengan mereka, Nabi Alaihi SallAllaho alaihi wa Sallam, berkata, “Ya Allah, aku mencintai mereka, maka cintailah mereka.”

Sahih Bukhari, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 23
Sahih Muslim, Kitab al Fadhail, Vol 4, Halaman 1883
Sunan Tirmidzi, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 327

Al-Hasan mengatakan bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, juga mengatakan, “Ya Allah, aku mencintainya, dan cinta orang yang mencintainya.” Dua cucunya, Nabi saw juga mengatakan, “Barangsiapa mencintai mereka, maka mencintai aku.” Kemudian ia berkata. Barang siapa mencintaiku, maka dia mencintai Allah. Barang siapa yang membenci mereka membenci saya dan barangsiapa membenci saya artinya membenci Allah. ”

Muqaddam Sunan Ibn Maja, Vol 1, Page 51
Majma ‘az-Zawaid, Vol 9, Halaman 180

Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, “Jangan membuat teman saya sebagai sasaran setelah kepergian ku! Barangsiapa mengasihi mereka, maka mengasihi mereka itu karena mereka mencintaiku, dan barang siapa membenci mereka, adalah juga kebencian mereka terhadap aku, Barangsiapa merugikan mereka, maka mereka merugikan aku. Barangsiapa yang melukai sahabatku dan keluargaku, seolah-olah itu adalah menyakitiku (Nabi saw) dan artinya juga Allah. Barang siapa menyaikiti Allah, maka mereka akan dibuang.

Sunan Tirmidzi, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 358
Musnad Ahmad, Vol 5, Halaman 54

Keluarga Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah berasal dari Sayidah Fathimah, semoga Allah senang dengan dia, “Dia adalah bagian dari diriku, barangsiapa yang membenci dia, maka mereka membenci saya.”

Sahih al Bukhari, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 24
Sahih Muslim, Kitab Fadhail as-Sahaba, Vol 4, Halaman 1903

Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, mengatakan kepada Sayidina Aisyah untuk mencintai Osama, putra Zaid karena dia mencintainya. [Sunan Tirmidzi, Kitab al-Manaqib, Vol 5, Halaman 342]

Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berbicara kepada Ansar, berkata, “Tanda iman adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah kebencian kepada mereka.”

Sahih al Bukhari, Kitab al Manaqib, Vol 5, Page 27
Sahih al Bukhari, Kitab al Iman, Vol 1, Page 9
Sahih Muslim, Kitab al Iman, Vol, Halaman 85

Anak Omar mengatakan kepada kita bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, “Barang siapa mencintai orang-orang Arab dan mengasihi mereka karena dia mencintaiku, dan barangsiapa membenci mereka, itu adalah karena kebencian mereka terhadap aku..” [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 34]

Faktanya adalah ketika seseorang mencintai yang lain, dia mencintai segala sesuatu yang dicintai orang itu, dan ini memang terjadi dengan para sahabat. Ketika Anas melihat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, makan sepotong labu, ia berkata, “Dari hari itu maka akupun mencintai labu.” [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 34]

Al-Hasan, cucu Nabi, semoga kedamaian Allah atas mereka, pergi dengan Jafar Salma dan memintanya untuk menyiapkan beberapa makanan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, yang biasa digunakan untuk makan. [Shamail Tirmidzi, Halaman 155]

Omar pernah melihat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, mengenakan sepasang sandal berwarna kuning, sehingga dia juga mengenakan sepasang sandal dengan warna yang sama.

Sahih al Bukhari, Kitab al-libas, Vol 7, Halaman 132
Sahih Muslim, Kitab al-Hajj, Vol 2, Halaman 844

Kedelapan: Tanda kedelapan, kebencian terhadap siapa saja yang membenci Allah dan Rasul-Nya. yaitu dengan membenci orang-orang yang menunjukkan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Orang beriman memiliki tanda ini menghindari semua yang menentang cara kenabian, dan bertentangan dengan orang-orang yang memperkenalkan inovasi dalam cara kenabian (yang bertentangan dengan semangat Islam) dan menemukan hukum yang memberatkan. Allah berkata, “Anda akan menemukan tidak ada umat yang beriman kepada Allah dan Hari Terakhir yang mencintai siapapun yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” [Al Mujadilah: 22]

Kesembilan: Tanda kesembilan ditemukan pada mereka yang mencintai Al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi saw, dimana mereka dibimbing. Ketika ditanya tentang Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, Sayidah Aisyah, ra dia, berkata, “karakter Nabi adalah Al-Qur’an.” Bagian dari cinta Al-Qur’an adalah mendengarkan bacaan, bertindak sesuai dengan itu, pemahaman itu, menjaga dalam batas-batas dan cinta cara Nabi Muhammad. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 35]

Sahal, putra Abdullah berbicara tentang tanda ini mengatakan, “Tanda mencintai Allah adalah cinta Al-Qur’an Tanda mencintai Al-Qur’an adalah cinta Nabi.Tanda mencintai Nabi SallAllahu alaihi wa sallam, adalah cinta cara kenabiannya. Tanda mencintai cara kenabian adalah cinta akhirat. Tanda mencintai akhirat adalah membenci dunia ini. Tanda kebencian bagi dunia ini adalah bahwa Anda tidak mengumpulkan semua kecuali untuk sedikit saja sesuai ketentuan dan apa yang Anda butuhkan untuk tiba dengan selamat di akhirat. ” [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 35]

Anak Mas’ud mengatakan, “Tidak ada yang perlu bertanya pada diri sendiri tentang apa pun, selain Al-Qur’an, jika ia mencintai Al Qur’an maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya” pujian dan damai besertanya. [Baihaqi fil Aadaab, Hal 522]

Kesepuluh: Tanda kesepuluh cinta untuk Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah untuk mengasihani umatnya dengan menasihati mereka dengan baik, berjuang untuk kemajuanmereka dan menghapus segala sesuatu yang berbahaya dari jalan mereka dan dalam cara yang sama bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata “kasih sayanglah kepada orang yang beriman.” [Al-Taubah: 128]

Kesebelas: Tanda kesebelas kasih yang sempurna ditemukan dalam membatasi siapa dirinya melalui penyangkalan diri, lebih memilih kemiskinan dari kenikmatan atraksi dunia. Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata Abu Sa’id Al Khudri, “Kemiskinan akan datang kepada Anda yang mencintai saya, mengalir lebih cepat daripada banjir dari puncak gunung ke dasarnya.” [Sunan Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Vol 4, Halaman 7]

Seorang pria datang kepada Nabi Alaihi wa Aalihi SallAllaho wa Sallam, dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku mencintaimu.” Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, memperingatkan, “Hati-hati dari apa yang Anda katakan.” Pria itu mengulangi cintanya sampai tiga kali, dimana Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam berkata kepadanya, “Jikalau kamu mengasihi ku maka persiapkan diri mu dengan cepat untuk kemiskinan.” [Sunan Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Vol 4, Halaman 7]

Ya ALLAH SWT! Kami memohon kepadaMU untuk mengisi hati kita dengan Kasih yang benar dan besar dari sifat Karim yang terkasih, Habibullah. Kita tetap hidup pada Sunnah-nya dan memberkati kita dengan kematian pada Iman di Kota terkasih Nabi Terkasih saw dan kuburkan kami dengan Ahl al-Baqi ‘asy-Syarif … Aamin!
Sumber : Majelis Shalawat Samudera Cinta Rasulullah saw

Imam Al- Ghazali

Imam Al- Ghazali

1. Tempat Kelahiran Imam Al- Ghazali

Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan hujjatul Islam (argumentator islam) karena jasanya yang besar di dalam menjaga islam dari pengaruh ajaran bid’ah dan aliran rasionalisme yunani. Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasah yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia islam.[1]

Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil tenunannya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan yang tinggi, seperti terlihat pada simpatiknya kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat.

Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya (imam al-Ghazali) dan saudarnya (Ahmad), ketika itu masih kecil dititipkan pada teman ayahnya, seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan dan didikan.[2]

Meskipun dibesarkan dalam keadaan keluarga yang sederhana tidak menjadikan beliau merasa rendah atau malas, justru beliau semangat dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, dikemudian beliau menjelma menjadi seorang ‘ulama besar dan seorang sufi. Dan diperkirakan imam Ghazali hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang sufi sampai usia 15 tahun (450-456)[3]

2. Pendidikan dan Perjalanan Mencari Ilmu

Perjalanan imam Ghazali dalam memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya. Kepada ayahnya beliau belajar Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan ynag lain, di lanjutkan di Thus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Setelah beliau belajar pada teman ayahnya (seorang ahli tasawuf), ketika beliau tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, beliau mengajarkan mereka masuk ke sekolah untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan. Beliau mempelajari pokok islam (al-qur’an dan sunnah nabi).Diantara kitab-kitab hadist yang beliau pelajari, antara lain :

a. Shahih Bukhori, beliau belajar dari Abu Sahl Muhammad bin Abdullah Al Hafshi

b. Sunan Abi Daud, beliau belajar dari Al Hakim Abu Al Fath Al Hakimi

c. Maulid An Nabi, beliau belajar pada dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Khawani

d. Shahih Al Bukhari dan Shahih Al Muslim, beliau belajar dari Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asai.[4]

Begitu pula diantarnya bidang-bidang ilmu yang di kuasai imam al-Ghazli (ushul al din) ushul fiqh, mantiq, flsafat, dan tasawuf[5]

Santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu beliau untuk belajar fiqh pada imam Kharamain, beliau dalam belajar bersungguh-sungguh sampai mahir dalam madzhab, khilaf (perbedaan pendapat), perdebatan, mantik, membaca hikmah, dan falsafah, imam Kharamain menyikapinya sebagai lautan yang luas.[6]

Setelah imam kharamain wafat kemudian beliau pergi ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Beliau mengarang tentang madzhab kitab al-basith, al- wasith, al-wajiz, dan al- khulashoh. Dalam ushul fiqih beliau mengarang kitab al-mustasfa, kitab al- mankhul, bidayatul hidayah, al-ma’lud filkhilafiyah, syifaal alil fi bayani masa ilit dan kitab-kitab lain dalam berbagai fan.[7]

Antara tahun 465-470 H. imam Al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al- Radzaski di Thus, dan dari Abu Nasral Ismailli di Jurjan. Setelah imam al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf kekpada Yusuf Al Nassaj (w-487 H). pada tahun itu imam Al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abdul Ghofur itu Ismail Al- Farisi, imam al-Ghozali menjadi pembahas paling pintar di zamanya. Imam Haramain merasa bangga dengan pretasi muridnya.

Walaupun kemashuran telah diraih imam al Ghazali beliau tetap setia terhadap gurunya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. sebelum al Juwani wafat, beliau memperkenalkan imam al Ghazali kepada Nidzham Al Mulk, perdana mentri sultan Saljuk Malik Syah, Nidzham adalah pendiri madrasah al nidzhamiyah. Di Naisabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Faldl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w.477 H/1084 M).[8]

Setelah gurunya wafat, al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenengkan ini, namanya semakin populer dan disegani karena keluadan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, imam al Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzhamiyah, ini dijelaskan salam bukunya al mungkiz min dahalal. Selama megajar di madrasah dengan tekunnya imam al Ghozali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina Ibn miskawih dan Ikhwan Al Shafa. Penguasaanya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti al maqasid falsafah tuhaful al falasiyah.[9]

Pada tahun 488 H/1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan (skeptis) terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum teologi dan filsafat). Keraguan pekerjaanya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga beliau menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, imam al Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah nidzhamiyah, yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus, selam kira-kira dua tahun imam al Ghazali di kota Damaskus beliau melakukan uzlah, riyadah, dan mujahadah. Kemudian beliau pihdah ke Bait al Maqdis Palestina untuk melakukan ibadah serupa. Sektelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarohi maqom Rosulullah Saw.[10]

Sepulang dari tanah suci, imam al Ghazali mengunjungi kota kelahirannya di Thus, disinilah beliau tetap berkhalwat dalam keadaan skeptis sampai berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah beliau menulis karyanya yang terkenal ” ihya’ ‘ulumuddin al-din” the revival of the religious ( menghidupkan kembali ilmu agama).[11]

Karena disebabkan desakan pada madrasah nidzhamiyah di Naisabur tetapi berselang selam dua tahun. Kemudian beliau madrasah bagi para fuqoha dan jawiyah atau khanaqoh untuk para mustafifah. Di kota inilah (Thus) beliau wafat pada tahun 505 H / 1 desember 1111 M.[12]

Abul Fajar al-Jauzi dalam kitabnya al asabat ‘inda amanat mengatakn, Ahmad saudaranya imam al Ghazali berkata pada waktu shubuh, Abu Hamid berwudhu dan melakukan sholat, kemudian beliau berkata : Ambillah kain kafan untukku kemudian ia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan diatas kedua matanya, beliau berkata ” Aku mendengar dan taat untuk menemui Al Malik kemudian menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. Imam al Ghazali yag bergelar hujjatul islam itu meninggal dunia menjelang matahari terbit di kota kelahirannya (Thus) pada hari senin 14 Jumadil Akir 505 H (1111 M). Imam al Ghazali dimakamkan di Zhahir al Tabiran, ibu kota Thus.[13]

B. Guru dan Panutan Imam Al Ghazali

Imam al Ghazali dalam perjalanan menuntut ilmunya mempunyai banyak guru, diantaranya guru-guru imam Al Ghazali sebagai berikut :

1. Abu Sahl Muhammad Ibn Abdullah Al Hafsi, beliau mengajar imam Al Ghozali dengan kitab shohih bukhori.

2. Abul Fath Al Hakimi At Thusi, beliau mengajar imam Al Ghozali dengan kitab sunan abi daud.

3. Abdullah Muhammad Bin Ahmad Al Khawari, beliau mengajar imam Ghazali dengan kitab maulid an nabi.

4. Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asi, beliau mengajar imam Al Ghazali dengan kitab shohih Bukhori dan shohih Muslim.[14]

Dengan demikian guru-guru imam Al Ghazali tidak hanya mengajar dalam bidang tasawuf saja, akan tetapi beliau juga mempunyai guru-guru dalam bidang lainnya, bahkan kebanyakan guru-guru beliau dalam bidang hadist.

C. Murid-Murid Imam Al Ghazali

Imam Al Ghazali mempunyai banyak murid, karena beliau mengajar di madrasah nidzhamiyah di Naisabur, diantara murid-murid beliau adalah :

1. Abu Thahir Ibrahim Ibn Muthahir Al- Syebbak Al Jurjani (w.513 H).

2. Abu Fath Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Burhan (474-518 H), semula beliau bermadzhab Hambali, kemudian setelah beliau belajar kepada imam Ghazali, beliau bermadzhab Syafi’i. Diantara karya-karya beliau al ausath, al wajiz, dan al wushul.

3. Abu Thalib, Abdul Karim Bin Ali Bin Abi Tholib Al Razi (w.522 H), beliau mampu menghafal kitab ihya’ ‘ulumuddin karya imam Ghazali. Disamping itu beliau juga mempelajari fiqh kepada imam Al Ghazali.

4. Abu Hasan Al Jamal Al Islam, Ali Bin Musalem Bin Muhammad Assalami (w.541 H). Karyanya ahkam al khanatsi.

5. Abu Mansur Said Bin Muhammad Umar (462-539 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali sehingga menjadi ‘ulama besar di Baghdad.

6. Abu Al Hasan Sa’ad Al Khaer Bin Muhammad Bin Sahl Al Anshari Al Maghribi Al Andalusi (w.541 H). beliau belajar fiqh pada imam Ghozali di Baghdad.

7. Abu Said Muhammad Bin Yahya Bin Mansur Al Naisabur (476-584 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali, diantara karya-karya beliau adalah al mukhit fi sarh al wasith fi masail, al khilaf.

8. Abu Abdullah Al Husain Bin Hasr Bin Muhammad (466-552 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali. Diantar karya-karya beliau adalah minhaj al tauhid dan tahrim al ghibah.[15]

Dengan demikian imam al ghozali memiliki banyak murid. Diantara murid–murid beliau kebanyakan belajar fiqh. Bahkan diantara murid- murid beliau menjadi ulama besar dan pandai mengarang kitab.

D. Karya-Karya Imam Al Ghazali

Imam Al Ghozali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi, kalau karya imam Al Ghazali diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah :

1. Maqhasid al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah.

2. Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras.

3. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).

4. Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat.

5. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.

6. Al-ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang nasional)

7. Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.

8. Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan).

9. Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah).

10. Ayyuha al walad.

11. Al musytasyfa

12. Ilham al –awwam an ‘ilmal kalam.

13. Mizan al amal.

14. Akhlak al abros wa annajah min al asyhar (akhlak orang-orang baik dan kesalamatan dari kejahatan).

15. Assrar ilmu addin (rahasia ilmu agama).

16. Al washit (yang pertengahan) .

17. Al wajiz (yang ringkas).

18. Az-zariyah ilaa’ makarim asy syahi’ah (jalan menuju syariat yang mulia)

19. Al hibr al masbuq fi nashihoh al mutuk (barang logam mulia uraian tentang nasehat kepada para raja).

20. Al mankhul minta’liqoh al ushul (pilihan yang tersaing dari noda-noda ushul fiqih).

21. Syifa al qolil fibayan alsyaban wa al mukhil wa masalik at ta’wil (obat orang dengki penjelasan tentang hal-hal samar serta cara-cara penglihatan).

22. Tarbiyatul aulad fi islam (pendidikan anak di dalam islam)

23. Tahzib al ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul fiqiha).

24. Al ikhtishos fi al ‘itishod (kesederhanaan dalam beri’tiqod).

25. Yaaqut at ta’wil (permata ta’wil dalam menafsirkan al qur’an).[16]

BAB TAMBAHAN

KESETIAAN IMAM AL GHAZALI KEPADA GURUNYA.

Walupun kemashuran telah diraih imam al-ghazali beliau tetap setia terhadap gurunya dan tidak meninggalkannya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. sebelum al-Juwami wafat, beliau memperkenalkan imam al-Ghazali kepada Nidham Al Mulk, perdana mentri sulatan Saljuk Malik Syah, Nidham adalah pendiri madrasah al- nidzamiyah. Di Nashabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Fadl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w. 477 H/1084 M)[17]

Setelah gurunya wafat, Al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham Al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan para ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenangkan ini, namanya semakin populer dan desegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, imam al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidhzamiyah, ini dijelaskan dalam bukunya al mungkiz min al dahalal. Selama mengajar di madrasah dengan tekunnya imam al Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina Ibn Miskawih dan Ikhwan Al Shafa.penguasaanya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti Falsafah Tuhfatul Al Falasifah.[18]

Pada tahun 488 H / 1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan(ekeptis) trhadap ilmu-ilmu yang dipelajari(hukum teologi dan filsafat). Keraguan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehungga beliau menderita penyakit selam adua bulan

Ibnu Athoillah As Sakandari (Penyusun kitab al-Hikam)

Ibnu Athoillah As Sakandari (Penyusun kitab al-Hikam)

Penyusun kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini bernama lengkap Tajuddin Abul Fadl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Athoillah As_Sakandari Al_Judzami Al_Maliki As_Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab Al_Aa’ribah.

Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abul Hasan As_Syadili (pendiri Thariqah al-Syadziliyyah) sebagaimana diceritakan Ibnu Athoillah dalam kitabnya Lathoiful Minan, “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abul Hasan As_Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan, “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Athoillah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti Al-Faqih Nasiruddin Al_Mimbar Al_Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Athoillah memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab. Tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya Sholihin. Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Athoillah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang – terangan tidak menyukainya.

Ibnu Athoillah menceritakan dalam kitabnya Lathoiful minan, bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Athoillah yaitu Abul Abbas Ahmad Al_Mursiy mengatakan, “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Athoillah) datang ke sini, tolong beritahu aku”. Dan ketika aku datang, Al_Mursiy mengatakan, “Malaikat Jibril as telah datang kepada Nabi Saw bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang Quraisy tidak percaya pada Nabi Saw. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi Saw dan mengatakan, ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi Saw mengatakan, ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Athoillah) demi orang yang alim fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Athoillah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Athoillah menjadi tiga masa :

Masa pertama

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran – pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih. Dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita, “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abul Abbas Al_Mursiy, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau. Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal – hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abul Abbas Al_Mursiy, tahun 674 H dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya terhadap ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan Al_Mursiy, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.

Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf. Suatu ketika Ibn ‘Athoillah mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya – tanya dalam hatinya, “Apakah semestinya aku membenci tasawuf??. Apakah merupakan sesuatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas Ahmad Al_Mursi ?”.

Ibnu ‘Athoillah kemudian berkisah, “Setelah lama aku merenung dan mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa Al_Mursiy sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf”.

“Lalu akupun datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyata Al_Mursiy yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah Swt, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai – sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru, Al_Mursiy”.

Dalam hal ini Ibn ‘Athoilah menceritakan, “Aku menghadap guruku Al-Mursi dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan, “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya thariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata, “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan, “Tidak seperti itu thariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah Swt padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang – orang As_Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah Swt sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”.

Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah Swt telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah Swt”.

Masa ketiga

Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn ‘Atho dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu ‘Athoillah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah Swt.

Menurut Ibnu Athoillah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.

Ibnu Athoillah sepeninggal gurunya Abul Abbas Al_Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban disamping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid Al_Azhar.

Ibnu Hajar berkata, “Ibnu ‘Athoillah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan – perkatan orang kebanyakan dengan riwayat – riwayat dari salafus sholih, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”.

Hal senada diucapkan juga oleh Ibnu Tagri Baradi, “Ibnu ‘Athoillah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah Al-Mansuriah di Hay As_Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin As_Subki (ayah Tajuddin As_Subki), pengarang kitab Thobaqatus Syafi’iyyah Al-Kubro”.

Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.

Karomah Ibn Athoillah

Al-Munawi dalam kitabnya Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan, “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya, “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras, “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Athoillah ketika meninggal kelak.

Diantara karomah pengarang kitab Al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Disana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’a dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman – temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak?. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman – temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia langsung menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya, “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab, “Tuanku… saya melihat tuanku disana”. Dengan tersenyum Al_’Arif billah ini menerangkan, “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb dipanggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Ibn Atho’illah wafat

Tahun 709 H adalah bagian dari tahun berduka citanya kaum muslimin. Karena pada tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta.

Namun demikian Madrasah Al_Manshuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman Al_Qorrofah Al_Kubro.

Biografi Syekh Abil Hasan Asy Syadzily

Biografi Syekh Abil Hasan Asy Syadzily

Asy Syekh al Imam al Quthub al Ghouts Sayyidina Asy Syarif Abul Hasan Ali asy Syadzily al Hasani bin Abdullah bin Abdul Jabbar, terlahir dari rahim sang ibu di sebuah desa bernama Ghomaroh, tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara bagian ujung paling barat, pada tahun 593 H / 1197 M. Beliau merupakan dzurriyat atau keturunan ke dua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, dengan urut-urutan sebagai berikut, asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily adalah putra dari :

1. Abdullah, bin
2. Abdul Jabbar, bin
3. Tamim, bin
4. Hurmuz, bin
5. Khotim, bin
6. Qushoyyi, bin
7. Yusuf, bin
8. Yusa’, bin
9. Wardi, bin
10. Abu Baththal, bin
11. Ali, bin
12. Ahmad, bin
13. Muhammad, bin
14. ‘Isa, bin
15. Idris al Mutsanna, bin
16. Umar, bin
17. Idris, bin
18. Abdullah, bin
19. Hasan al Mutsanna, bin
20. Sayyidina Hasan, bin
21. Sayyidina Ali bin Abu Thalib wa Sayyidatina Fathimah az Zahro’ binti
22. Sayyidina wa habibina wa syafi’ina Muhammadin, rosulillaahi shollolloohu ‘alaihi wa aalihi sallam.

Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal sebagai orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau. Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah SWT.

Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir ‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia.

Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir a.s. tersebut, Beliau segera menghadap Syekh Abi Said al Baji, rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.

Perantauan Mencari Sang Quthub

Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.

Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.

Memang sepeninggal Sulthonil Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu ‘anh, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Allah disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 – 561 H./1077 – 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy Syekh. Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan “Quthbul Ghouts”.

Akhirnya, Beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa’iyah yaitu asy Syekh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu ‘anh. Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju ke hadirat Allah SWT.

Mendengar penuturan beliau, asy Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana!”

Berguru Kepada Sang Quthub

Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.

Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin, disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu’ dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.

Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa ‘alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat.” Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syekh Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.

Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan kepada beliau.

Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau, “Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu.”

Berkata asy Syekh Ibn Masyisy kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkms Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya.”

Di lain waktu guru beliau, rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.

Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan
WARO’ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.

Asy Syekh juga pernah berpesan kepada. beliau, “Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allah, sesuatu yang dapat mendatangkan kcridhoan Allah, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Allah”.

Asy Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul Hasan.

Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai’at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :

Beliau, asy Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily menerima bai’at thoriqot dari :

1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai’at dari
2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari
3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari
4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari
5. Sayyidisy Syekh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari
6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari
7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari
8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari
9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari
11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari
12. Sayyidisy Syekh Sa’ad, dari
13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, dari
14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari
15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari
16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari
17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari
18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari
19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis salam, dari
20. Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.

Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, rodhiyAllahu ‘anh.

Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.

Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan dengan mengatakan, “Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily.”

“Setelah itu,” lanjut asy Syekh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menj adikan engkau seorang Quthub.”

Pada waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku.” Asy Syekh pun kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”

Lanjut asy Syekh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro’mu.” “Dan berdoalah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘

Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Di Syadzilah

Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Sya¬dzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenya¬taan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.

Beliau tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.

Akhirnya, Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).

Di bukit itu, Beliau melakukan laiihan-latihan ruhani dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Untuk kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk meme¬nuhi keperluan beliau.

Pernah, pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”. Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.

Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, ‘alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy Syekh.

Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah SWT, “Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku ?” Maka, dikatakan kepadaku, “Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk¬Ku dan demi cinta kepada-Ku.”

Beliau tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.

Diceritakan oleh beliau, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, ‘Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu !’ Lalu, akupun mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka’. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Turunlah, wahai Ali ! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari marabahaya’. Aku katakan pula, ‘Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai ?’ Maka, dikatakan kepadaku, ‘Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib.”‘

Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.

Di Tunis

Bagi beliau, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja Beliau bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang Beliau saksikan pada saat kedatangan Beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, sejak kedatangannya, Beliau juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Alkisah, dalam usaha Beliau memberikan pertolongan kepada mereka, Beliau sering didatangi nabiyulloh Khidlir, ‘alaihissalam, guna membantu Beliau sekaligus untuk menyelamatkan Beliau dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunan beliau.

Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang kadi (hakim agama) yang bernama Ibnul Baro’. Dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnul Baro’. Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya.

Asy Syekh Abil Hasan datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru beliau, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan Beliau melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatangi beliau. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang alim, sholih dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara lain: asy Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily, Abu Abdullah ash Shobuni, Abu Muhammad Abdul Aziz az Zaituni, Abu Abdullah al Bajja’i al Khayyath, dan Abu Abdullah al Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman rohani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci asy Syekh. Padahal, pada waktu itu Beliau masih berumur sekitar 25 tahun.

Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnul Baro’ sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan asy Syekh di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan asy Syekh ditangkap oleh telinga Ibnul Baro’ lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.

Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni asy Syekh, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro’. Timbul prasangka buruk bahwa Syekh Abil Hasan telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul Baro’ mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan “perang” melawan asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily, rodhiyallahu ‘anh.

Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnahan dari orang yang dengki kepada Beliau, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. Beliau adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Dan apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemulian asy Syekh Abil Hasan Syadzily, rodhiyallahu ‘anh.

Setelah itu, terbetik dalam hati asy Syekh untuk kembali menunaikan ibadah haji. Beliau lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah Beliau dengan para pengikutnya untuk melakukan perj alanan jauh menuju ke negeri Mesir.

Dalam perjalan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnul Baro’ sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran Beliau di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menujukkan bahwa asy Syekh adalah kekasihnya dan dengan kebesaran hati dan kehalusan budi pekerti beliaulah, akhirnya Beliau bersedia memaafkan dan mendoakan Sultan hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan asy Syekh adalah merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka.

Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, asy Syekh tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah tiba pada saatnya asy Syekh pun mohon diri kepada Sultan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah. Ringkas cerita, di sana Beliau mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu Beliau melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah Beliau beserta rombongan ke negeri Tunisia.

Sewaktu asy Syekh kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangan beliau. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena asy Syekh yang mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi. Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro’. Bagi dia, kembalinya asy Syekh berarti merupakan sebuah “malapetaka” dan pertanda dimulainya lagi sebuah “pertempuran”. Tetap seperti dulu. Dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar asy Syekh, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.

Kemudian, setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy Syekh lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel rohani yang Beliau dirikan juga kian diminati para ‘pejalan’. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang asy Syekh dirikan di Tunisia adalah pads tahun 625 H./1228 M., ketika Beliau berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatangi beliau, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.

Di antara murid-murid asy Syekh yang datang dari luar negeri Tunisia; terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyah, negeri Marokko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran asy Syekh sendiri, yang bernama Abul Abbas al Marsi. Pertemuan asy Syekh dengan pemuda ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan yang amat istimewa, sampai-sampai pada suatu hari asy Syekh berkata, “Aku tentu tidak akan ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini. Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah penggantiku.” Menurut sebuah catatan, pemuda al Marsi (al Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula, walaupun tidak terlalu lama, berguru secara langsung kepada asy Syekh Abdus Salam sampai meninggalnya Beliau tahun 622 H./ 1225 M.

Kembalinya asy Syekh ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti yang telah diperintahkan pada saat Beliau di gunung Barbathoh dan di bukit Zaghwan. Semuanya itu Beliau jalani sambil menanti datangnya “perintah” selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy. Pada saat pemetaan, guru Beliau itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah “dihajar” oleh penguasa negeri itu, maka Beliau kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.

Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam asy Syekh bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Ya Ali, sudah saatnya kini engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah engkau ke negeri Mesir.” Kemudian Rosululloh melanjutkan, “Dan ketahuilah, wahai Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam karomah. Selain itu, di sana pula kelak engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin.”

Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya asy Syekh dari puncak gunung di padang Barbathoh, Maroko, yang merupakan ‘langkah pertama’, adalah karena atas perintah guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Kemudian, pada waktu turunnya Beliau dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai ‘langkah ke dua’, adalah karena perintah Allah SWT. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya asy Syekh dari Tunisia menuju Mesir, sebagai ‘langkah ke tiga’ atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah SAW.

Bermukim di Mesir

Beberapa hari asy Syekh dan rombongan melakukan perjalanan, tibalah asy Syekh di negeri Mesir. Beliau langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu Beliau singgahi setiap perjalanan haji beliau. Alkisah, pads saat asy Syekh menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban). Dan, karena takdir Allah jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy Syekh Abul Hajjaj al Aqshory, rodhiyAllahu ‘anh, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada waktu itu. Sehingga, di kemudian hari, oleh para ulama minash shiddiqin Mesir, asy Syekh Abul Hasan asy Syadzily diyakini sejak hari itu juga telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Wali Quthub menggantikan asy Syekh Abul Hajjaj al Agshory.

Kedatangan Beliau di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar nama beliau. Tidak hanya orang-orang dari kalangan biasa, tapi juga segenap ulama, para sholihin dan shiddiqin, para ahli hadits, ahli fiqih, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa sahlan ! ” Pertemuan mereka dengan asy Syekh tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.

Oleh Sultan Mesir, Beliau diberi hadiah sebuah tempat tinggal yang cukup luas bernama Buruj as Sur. Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah. Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman Beliau itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid thoriqot untuk uzlah atau suluk).

Di tempat itu pula asy Syekh melaksanakan pernikahan dan membangun bahtera rumah tangga beliau. Dari pernikahan asy Syekh, lahirlah beberapa putra dan keturunan beliau, di antaranya: asy Syekh Syahabuddin Ahmad, Abul Hasan Ali, Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan ‘Arifatul Khair. Sebagian putra-putri Beliau itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syekh bersama ibunda mereka.

Seperti apa yang telah Beliau lakukan selama di Tunisia, di “negeri para Ulama” ini pun asy Syekh juga tetap berdakwah dan mengajar. Asy Syekh menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan thoriqot Beliau pada tahun 642 H./ 1244 M. Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syekh menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai’at murid-murid beliau. Sedangkan di bagian menara yang lain, Beliau pergunakan sebagai tempat untuk “menyalurkan hobby” Beliau selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, Beliau juga memiliki aktifitas rutin mengajar.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian Beliau dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka. Para orang-orang alim dan sholeh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajian beliau, yang datang dari barat maupun timur, mereka semua merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh asy Syekh. Bahkan, tidak sampai berhenti di situ saja. Mereka kemudian juga berbai’at kepada asy Syekh sekaligus menyatakan diri sebagai murid beliau.

Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti: Sulthonul ‘Ulama Sayyid asy Syekh ‘Izzuddin bin Abdus Salam, asy Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Taqiyyuddin bin Daqiiqil ‘led, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Abdul ‘Adhim al Mundziri, asy Syekh Ibnush Sholah, asy Syekh Ibnul Haajib, asy Syekh Jamaluddin Ushfur, asy Syekh Nabihuddin bin’Auf, asy Syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan al Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al Imamul Akbar Sayyidisy Syekh Muhyiddin Ibnul Arabi, rodhiyAllahu ‘anh, wafat tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi yang lainnya. Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh asy Syekh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan asy Syekh untuk berdakwah adalah di perguruan “Al Kamilah”.

Selain dakwah dan syiar Beliau melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, thoriqot yang Beliau dakwahkan pun semakin berkibar. Orang-orang yang datang untuk berbaiat dan mengambil barokah thoriqot Beliau datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama, para pejabat hingga rakyat jelata. Zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan ruhani, yang Beliau dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santri beliau.

Thoriqot yang asy Syekh terima dari guru beliau, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot yang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalam pandangan thoriqot ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk “lari” kepadaAllah SWT.

Selain itu, thoriqot yang Beliau populerkan ini juga dikenal sebagai thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqam, ilham dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Allah SWT. Di samping itu, thoriqot ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan doa dan hizib-hizibnya.

Di samping kiprah Beliau dalam syiar dan dakwah serta pembinaan ruhani bagi para murid-muridnya, asy Syekh juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalarn perjuangan di medan peperangan. Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Asy Syekh, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan, meninggalkan rumah dan keluarga berangkat ke kota Al Manshurah. Beliau bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota Al Manshurah.

Selain syekh Abul Hasan, tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain: al Imam syekh Izzuddin bin Abdus Salam, syekh Majduddin bin Taqiyyuddin Ali bin Wahhab al Qusyairi, syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan syekh Majduddin al Ikhmimi. Para shalihin dan ulama minash shiddiqin itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islam. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allah SWT, dengan melakukan sholat dan menengadahkan tangan untuk berdoa dan bermunajat kepada “Sang Penguasa” agar kaum muslimin memperoleh kemenangan. Setelahh selesai mereka beristighotsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendaras kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihya Ulumuddin, Qutul Qulub, dan ar Risalah.

Dan, alhamdulillah, karena anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam asy Syekh, dalam mimpi beliau, bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada waktu itu, Rasulullah SAW berpesan kepada Beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang lalim dan korup. Dan Rasulullah menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy Syekh pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangan beliau. Dan kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka kemenangan pun datang menjelang. Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu asy Syekh lalu kembali ke Iskandaria.

Wafatnya Asy Syekh Abil Hasan Asy Syadzily

Asy Syekh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawal 656 H./1258 M. Pada awal bulan Dzul Qa’dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syekh untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati beliau. Maka, kemudian diserukanlah kepada seluruh keluarga Beliau dan sebagian murid asy Syekh untuk turut menyertai beliau. Ketika itu asy Syekh juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, asy Syekh pun menj awab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”

Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al Mukarromah. Pada saat perjalanan sampai di gurun ‘Idzaab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Khumaitsaroh, yaitu antara Gana dan Quseir, asy Syekh memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu asy Syekh meminta agar mereka semua berkumpul di tenda asy Syekh.

Setelah para keluarga dan murid Beliau berkumpul, lalu asy Syekh memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiat Beliau kepada mereka. Di antara wasiat yang Beliau sampaikan, asy Syekh mengatakan, “Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putra-putramu agar mereka menghafalkan HIZIB BAHRI. Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung Ismullahil a’dhom, yaitu nama-nama Allah Yang Maha Agung.”

Kemudian, setelah asy Syekh menyampaikan pesan-pesan Beliau itu, lalu asy Syekh bersama dengan murid terkemuka beliau, asy Syekh Abul Abbas al Marsi, meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula, di mana pada waktu itu seluruh keluarga dan para murid Beliau masih menunggunya. Setelah asy Syekh kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian Beliau berkata, “Wahai putera-puteraku dan sahabat-sahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abul Abbas al Marsi sebagai penggantiku. Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridho Allah SWT, telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqom yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Allah SWT.”

Pada waktu antara maghrib dan ‘isya, Beliau tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu. Kemudian Beliau memanggil asy Syekh Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, rodliyAllahu ‘anh, salah satu putera beliau, “Hai Muhammad, tempat itu (asy Syekh menunjuk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan air sumur itu.” Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya me¬mang tidak tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai.

Mengetahui air sumur itu asin, maka putra Beliau itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, “Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar.” Syekh Syarafuddin menawarkan kepada Beliau air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan. Kemudian asy Syekh mengatakan, “Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian.” Selanjutnya oleh putera Beliau itu lalu diambilkan air sumur sebagaimana yang asy Syekh kehen¬daki. Setelah selesai berwudhu, kemudian asy Syekh berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali. Setelah itu Beliau memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu, dengan idzin Allah Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.

Setelah itu kemudian asy Syekh mengerjakan sholat ‘isya lalu diteruskan dengan sholat-sholat sunnat. Tidak berapa lama kemudian asy Syekh lalu berbaring dan menghadapkan wajah Beliau kepada Allah SWT (tawajjuh) seraya berdzikir sehingga, kadang-kadang, mengeluarkan suara yang nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan sahabat-sahabat beliau. Pada malam itu tiada henti-hentinya asy Syekh memanggil-manggil Tuhannya dengan mengucapkan, “Ilaahiy, ilaahiy, ” (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, ………..). Dan kadang-kadang pula Beliau lanjutkan dengan mengucapkan, “Allahumma mataa yakuunul liqo’ ?” (“Ya Allah, kapan kiranya hamba bisa bertemu?”). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid asy Syekh dengan penuh rasa tawadhu’, saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampingi beliau.

Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah asy Syekh sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa asy Syekh sudah nyenyak tertidur pulas. Asy Syekh Syarafuddin perlahan-lahan mendekati beliau. Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera Beliau itu lalu menggerak-gerakkan tubuh asy Syekh. Sedikit terkejut dan tertegun syekh Syarafuddin mendapatinya, karena asy Syekh al Imam al Quthub, rodhiyallahu ‘anh, ternyata sudah berpulang ke rohmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji ‘un. Ketika itu Beliau berusia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah SAW.

Setelah sholat subuh pada pagi hari itu, jasad asy Syekh nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para murid beliau. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama, shiddiqin, dan auliya’ulloh agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta’ziyah dan turut mensholati jenazah beliau, termasuk di antaranya kadinya para kadi negeri Mesir, asy Syekh al Waly Badruddin bin Jamaah. Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu, selain untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung.